REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Cina, satu-satunya negara yang secara sistematis mengambil organ tubuh narapidana yang dihukum mati bagi kepentingan operasi transplantasi, berencana mengakhiri praktik kontroversial tersebut pada Januari.
Pemerintah dalam setahun terakhir telah mencanangkan rencana mengakhiri praktik itu, karena mendapat kritik dari kelompok hak asasi manusia. Kelompok HAM menuduh pihak berwenang mengambil organ-organ tubuh itu tanpa seizin narapidana bersangkutan ataupun keluarga mereka. Namun klaim ini dibantah oleh Beijing.
Harian China Daily mengatakan bahwa transplantasi organ tubuh manusia mulai 1 Januari hanya akan dilakukan dengan donor masyarakat secara sukarela dan donor dari kerabat yang hidup. "Mengambil organ dari napi terhukum mati untuk transplantasi adalah praktik kontroversial, selain adanya syarat persetujuan tertulis dari donor dan keluarganya," kata kepala Komite Donor Organ Tiongkok, Huang Jiefu, seperti dikutip harian itu.
"Pemerintah Tiongkok sudah bersikap tegas untuk mengakhiri praktik ini," imbuh Huang yang juga mantan wakil menteri kesehatan itu. "Donor oleh masyarakat seharusnya menjadi satu-satunya sumber mendapatkan organ untuk transplantasi."
Persediaan organ tubuh manusia turun drastis di Tiongkok sebagian karena keyakinan tradisional bahwa mayat harus dikubur atau dikremasi dalam keadaan utuh. Setiap tahun sekitar 300 ribu pasien berada dalam daftar tunggu untuk mendapatkan organ transplantasi, dan hanya satu dari 30 pasien yang akhirnya berhasil mendapatkannya.
Kelangkaan persediaan tersebut memantik terjadinya perdagangan organ tubuh manusia secara ilegal, dan pada 2007 pemerintah melarang transplantasi dari donor hidup, kecuali untuk pasangan, keluarga kandung, dan anggota keluarga tiri atau angkat. "Pasien yang paling parah mendapatkan donor organ berdasar sistem tersebut, tanpa melihat status sosial dan kekayaannya," kata Huang.
"Departemen kehakiman tidak berwenang untuk memutuskan kemana donor organ tersebut diberikan."
Tiongkok tidak mempublikasi jumlah orang yang dihukum mati, meskipun Koalisi Dunia Menentang Hukuman Mati --sebuah kelompok terdiri atas lebih dari 150 LSM-- memperkirakan jumlahnya mencapai 3 ribu pada 2013.