REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Presiden Rusia Vladimir Putin, Kamis menuduh musuh-musuh Moskow tengah berupaya menghancurkan ekonomi negaranya untuk mencegah Kremlin menjadi aktor internasional kuat. Dalam pidato tahunannya, Putin membanggakan aneksasi atas semenanjung Krimea dan memuji kekuatan rakyat Rusia sambil mengejek sinisme Barat soal krisis Ukraina.
Dia juga mengatakan bahwa sanksi ekonomi yang diderita Rusia harus menjadi cambuk agar negara tersebut mengembangkan ekonominya yang mandiri. "Kami siap menghadapi setiap tantangan dan menang," kata Putin yang kemudian disambut dengan tepuk tangan meriah dari sekitar 1.000 pejabat yang hadir.
Pada saat bersamaan, mata uang rubel jatuh dan diperkirakan akan membuat ekonomi Rusia semakin jatuh ke dalam krisis. Diperparah lagi harga minyak dunia menurun. Menanggapi persoalan ekonomi itu, Putin menyalahkan Barat dan menuduh mereka tengah berupaya menerapkan politik isolasi--yang pada masa Perang Dingin dikenal dengan Tirai Besi--terhadap Rusia.
Menurut Putin, negara-negara tersebut berharap Moskow akan hancur seperti Yugoslavia pada 1990an. "Tidak diragukan lagi, mereka akan senang menyaksikan hancurnya Yugoslavia terulang di negara kita--dengan semua konsekuensi tragis yang akan dialami oleh warga di sini. Skenario ini tidak boleh terjadi," kata dia.
Lebih dari itu, Putin juga yakin bahwa negara-negara Barat tetap akan menerapkan sanksi ekonomi meskipun krisis Ukraina tidak terjadi. "Saya yakin jika semua peristiwa ini tidak terjadi, mereka akan mencari alasan lain demi mencegah Rusia menjadi negara kuat," kata dia.
Menurut sejumlah pengamat, retorika Putin itu tidak akan banyak membantu perekonomian Rusia bangkit. Mantan deputi bank sentral, Sergey Aleksashenko, bahkan mengaku frustasi terhadap kegagalan sang presiden dalam hal ekonomi. "Tidak ada hal yang perlu didiskusikan ataupun diharapkan. Semuanya akan terus berlanjut sebagaimana sekarang dan ini adalah yang dikehendaki Putin," kata Aleksashenko.