Kamis 11 Dec 2014 12:05 WIB

Keragaman Sinema Asia Pasifik Dirayakan di Brisbane

Red:
abc news
abc news

REPUBLIKA.CO.ID, BRISBANE -- Adegan film mendebarkan yang mengambil lokasi di China, drama kehidupan di Mumbai, hingga animasi cerita rakyat Jepang abad ke-10 merupakan beberapa di antara film yang bersaing dalam Asia Pacific Screen Awards (APSA) ke-8 di Brisbane, Australia, pekan ini.

Asia Pacific Screen Awards dipandang sebagai forum bergengsi bagi pembuat film di kawasan. (APSA)

Sebanyak 36 film dari 21 negara Asia Pasifik telah lolos seleksi APSA 2014, yang dipandang sebagai penghargaan perfilman paling bergengsi di kawasan.

Tahun ini panitia APSA sangat sibuk dalam proses seleksi. "Sinema Asia Pasifik tahun ini meraih pencapaian luar biasa - mulai dari Sundance, Berlin, Cannes hingga Venice,” jelas Maxine Williamson, Direktur Artisti APSA, merujuk festival film internasionl terpenting di dunia.

“Berbagai film dari Asia Pasifik memenangi semua kategori utama di festival tersebut tahun ini," ujarnya.

Hal ini tidak mengejutkan. Pertumbuhan film di kawasan ini paling besar di dunia, dan menyumbang separuh produksi film dunia. Menurut pembuat film dari Singapura, Anthony Chen, yang film debutnya Ilo Ilo menang di Festival Film Channes 2013, APSA sangat dikenal di kalangan industri film Asia. "APSA sangat dihormati di kalangan pembuat film Asia. Mungkin publik tidak banyak tahu seperti halnya Cannes atau Berlin, namun lama-lama orang akan mulai tahu tentang APSA," jelasnya kepada ABC.

Sama seperti penghargaan perfilman internasional lainnya, APSA fokus pada pencapaian. "Ini merupakan penghargaan yang mempertimbangkan aspek budaya dan keunggulan sinematis," jelas Maxine Williamson.

Lu Yue, salah seorang sinematografer utama China yang menjadi salah seorang juri tahun ini, mengakui peranan APSA dalam mempromosikan keunikan kawasan. “APSA memberi ruang bagi perbedaan budaya, nilai, agama dan bahasa untuk saling berkomunikasi satu sama lain,' katanya.

Untuk itu, dewan juri APSA juga ditunjuk dari orang-orang film ternama di kawasan. Khusus tahun ini, dewan juri APSA terdiri atas sutradara Iran pemenang Academy Award, Asghar Farhadi (filmnya antara lain A Separation, Nader and Simin), sutradara China Lu Yue (Shanghai Triad,  Back to 1942) dan aktor/sutradara India Rajit Kapur (The Making of the Mahatma).

Menurut Williamson, dengan dewan juri seperti ini maka penilaian film yang lolos akan lebih efektif sebab mereka akan mempertimbangkan nuansa yang lebih familiar dari film yang dinilai. “Juri dari negara kawasan akan lebih mungkin mengatakan, ya sutradara ini bagus tapi film ini bukan karyanya yang terbaik," jelasnya.

Williamson menjelaskan, pembuat film perempuan dan pemula sangat menonjol dalam APSA tahun ini.

Trend lainnya, kata Williamson, menunjukkan pembuat keinginan film berpengalaman untuk membimbing para pemula.

“Sistem mentor dalam pembuatan film ini terlihat utamanya di Korea, Iran dan India," ucapnya.

Pembiat film asal Singapura Anthony Chen (APSA)

Sebagai juri paling muda tahun ini, Anthony Chen mengungkap bagaimana ide awal dari film debutnya Ilo Ilo.

“Saya ingat di masa kecil di Singapura saya punya pembantu asal Filipina yang ikut bersama keluarga kami selama 8 tahun," katanya.

"Saat saya berusia 12 tahun, saya ingat sedang berada di bandara dan dia pamit pulang ke Filipina untuk selamanya," tambah Anthony.

“Saya menangis dan terus menangis. Itulah pertama kalinya sebagai anak-anak saya mengalami yang namanya perpisahan. Sangat menyakitkan. Ini selalu saya ingat. Dan saya tahu inilah film saya," ucapnya.

“Jadi, bukan saya yang menemukan cerita, tapi cerita itulah yang menemukan saya," kata Anthony lagi.

Mengenai perfilman Singapura, ia mengatakan, masih terus mencari identitasnya sendiri.

“Perfilman modern Singapura masih sangat muda usianya. Dahulu sudah ada industri film di tahun 1950an. Namun pernah ada periode 20 tahun lamanya sama sekali tanpa produksi film," jelasnya.

Sejak awal hingga pertengahan 1990an, pembuat film Singapura yang mengecam pendidikan luar negeri mulai kembali ke negaranya. Sejak itulah industri film di negara itu bangkit kembali.

Negara dengan sejarah film yang panjang seperti China mulai muncul sebagai kekuatan dalam perfilman dunia.

“Perfilman China membuat lompatan besar dalam produksi dan inovasi. Saya yakin kru film China sudah sama kualitasnya dengan kru film di negara lain, namun masih kurang dalam hal cara berpikir dalam film," jelas Lu Yue.

Ia mengatakan pasar perfilman China sangat besar, bukan hanya bagi film komersial namun juga film-film artisitik.

Sinematografer asal China Lu Yue (APSA)

Dalam dua dekade terakhir, China memasuki era keemasan perfilman. Tahun lalu, sebanyak 638 judul diproduksi.

Namun Lu mengakui tantangan terbesar perfilman China adalah masalah sensor.

“Pembuat film mengalami keterbatasan jika jika ingin menyentuh isu-isu sosial," katanya.

Kini, saat para pembuat film Asia Pasifik berkumpul di Brisbane dalam malam pembukaan, Kamis (11/12), menurut Direktur Artistik APSA Maxine Williamson, festival ini akan makin berpengaruh.

Silakan menyaksikan siaran langsungnya di tautan ini.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement