Kamis 11 Dec 2014 13:38 WIB

Pemerintah Australia Dinilai Bertanggung Jawab atas Masalah Suaka

Australia
Foto: AP
Australia

REPUBLIKA.CO.ID, SYDENY -- Pemerintah Australia gagal melindungi para pencari suaka saat terjadinya kerusuhan berdarah di rumah detensi imigrasi awal tahun ini, dan karenanya bersalah atas pelanggaran hak asasi manusia, demikian laporan penyelidikan Senat yang dipublikasikan, Kamis.

Laporan setebal 200 halaman itu juga mendapati bahwa staf perusahaan keselamatan G4S terlibat dalam kekerasan, dan menuding menteri imigrasi Australia sengaja mengarahkan agar masyarakat menyalahkan korban kerusuhan.

Australia menggunakan pusat-pusat tahanan tepi pantai di Papua Nugini dan Nauru, negara kecil di Pasifik Selatan, untuk memproses calon pengungsi yang mencoba masuk ke negara tersebut, seringkali dengan menggunakan perahu yang tidak aman setelah membayar penyelundup di Indonesia.

Seorang pencari suaka warga Iran Reza Barati tewas dan lebi dari 70 lainnya cidera dalam kerusuhan pada Februari di salah satu rumah detensi di Pulau Manus, Papua Nugini.

Membanjirnya pencari suaka serta kurangnya kejelasan untuk proses permintaan suaka mereka, mengakibatkan kerusuhan yang "bisa diduga" hasilnya, kata laporan komite Senat itu.

"Ketidakmampuan infrastruktur pusat tahanan untuk mengatasi arus masuk mereka, bersama dengan ketiadaan kejelasan status pengungsi dan kerangka kerja penempatan untuk mengatasi masalah pencari suaka, menciptakan suasana dimana kerusuhan dan protes merupakan akibat yang tak terhindarkan," katanya.

Penyelidikan yang sudah lama tertunda dan dilakukan oleh Komite Hukum dan Urusan Konstitusional parlemen ini merekomendasikan bahwa Australia "mengetahui dan bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia" dalam kerusuhan itu.

Laporan tersebut mengecam Menteri Imigrasi Scott Morrison dan mengatakan bahwa ia berulangkali memberikan informasi salah kepada masyarakat terkait kronologi kerusuhan untuk "secara tidak adil menyalahkan para pencari suaka itu sendiri atas kekerasan yang terjadi pada mereka."

Laporan itu juga disatukan dengan penilaian terhadap perusahaan G4S yang bermarkas di London, yang saat itu menyediakan pengamanan untuk fasilitas tersebut, dan memuji keberhasilannya dalam mencegah sebagian besar aksi protes sebelumnya.

"Tidak terbantahkan bahwa sejumlah staf penyedia jasa lokal serta sebagian kecil staf ekspatriat, terlibat dalam kekerasan terhadap pengungsi," katanya.

Sebagian besar tindak kekerasan menjadi tanggung jawab polisi Papua Nugini, yang menggunakan "kekuatan ekstrem dan berlebihan" untuk meredam protes, demikian temuan komite itu.

Senator partai oposisi Greens, Sarah Hanson-Young menyebut laporan tersebut sebagai "tuduhan berat" terhadap kebijakan pemerintah mengenai pencari suaka.

"Tumpukan bukti yang diberikan dalam penyelidikan ini semua mengarah pada satu fakta tak terbantahkan: pusat tahanan Pulau Manus tidak dapat dipertahankan dan harus ditutup sekarang," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement