REPUBLIKA.CO.ID, FREETOWN -- Pemerintah Sierra Leone memberlakukan larangan bagi warganya untuk merayakan hari Natal dan Tahun Baru karena krisis Ebola.
Selain itu, pemerintah setempat juga akan menyebar aparat keamanan di sejumlah titik di negara tersebut selama dan menjelang masa Natal dan Tahun Baru. Hal itu dilakukan agar rakyat Sierra Leone aman dari penyebaran virus Ebola. Demikian keterangan pejabat terkait seperti dilansir BBC, Sabtu (13/12).
Meskipun secara demografis rakyat Sierra Leone kebanyakan Muslim, hari Natal serta Tahun Baru selalu dirayakan di sana. Belakangan ini, negara di kawasan Afrika Barat itu terkena dampak paling serius penyebaran virus Ebola. Sekitar 6.580 orang Afrika Barat meninggal akibat terjangkit Ebola dan mayoritasnya berasal dari Guinea, Liberia, dan Sierra Leone.
Presiden Sierra Leone, Ernest Bai Karoma telah mengimbau agar para pemuka daerah menghentikan sementara praktik-praktik perayaan tradisional di ruang publik.
"Ini upaya pemerintah Sierra Leone meminimalkan lingkup penyebaran Ebola," demikian summber tersebut menyebutkan.
Presiden Ernest juga menambahkan, meskipun bantuan internasional terus berdatangan, tampak bahwa kasus Ebola terus meningkat. Terutama, di wilayah barat laut Sierra Leone, seperti Port Loko dan Bombali.
Sierra Leone tampaknya menyusul Liberia dalam hal krisis Ebola. Diketahui, ada lebih dari delapan ribu kasus Ebola di Sierra Leone. Sekitar 1.900 orang warga Sierra Leone meninggal sejak mula terdeteksinya wabah Ebola. Menurut data Badan PBB untuk Kesehatan Dunia (WHO), pada Desember tahun ini Sierra Leone mencatat dampak wabah Ebola terburuk.
Virus Ebola pertama kali terdeteksi pada 1976. Menurut penelitian, tanda-tanda orang yang terjangkit virus ini, antara lain, sering muntah-muntah, diare, dan pendarahan eksesif. Virus Ebola menular melalui kontak langsung dengan si penderita. Terutama, melalui cairan tubuh atau menyentuh jasad penderita Ebola.