REPUBLIKA.CO.ID, KIEV -- "Kalau saja saya tahu ... protes Maidan akan mengakibatkan kerugian sangat besar, saya takkan pergi ke sana," begitu komentar Natalia Komasa (26), yang ikut dalam protes anti-pemerintah di Ukraina.
Protes di Bundaran Kemerdekaan, yang dikenal luas sebagai Maidan, di Ibu Kota Ukraina, Kiev, pada November 2013, meluncurkan kerusuhan yang memasuki tahun kedua. Lebih dari 1.300 petempur dan warga sipil telah tewas di Ukraina Timur sehingga seluruh korban jiwa berjumlah lebih dari 4.700. Negara Eropa Timur itu telah terjebak di dalam krisis parah sejak mantan presiden Viktor Yanukovych digulingkan pada Februari 2014.
"Kebebasan yang kami peroleh tak sepadan dengan nyawa ribuan orang dan kehancuran ekonomi," kata wanita itu kepada Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Kamis pagi.
Komasa, yang bekerja sebagai manager penjualan di satu perusahaan swasta yang berpusat di Kiev, mengatakan 2014 adalah tahun terburuk dalam hidupnya, terutama dalam hal kesejahteraan ekonomi.
Mata uang nasional Ukraina, hryvnya, telah kehilangan 47 persen nilanya terhadap dolar AS sejak awal krisis, sehingga menghambat pengeluaran warga dan menekan kegiatan usaha."Kemerosotan nilai hryvnya telah secara tajam meningkatkan harga semua komoditas, tapi gaji kami tetap sama. Banyak orang memiliki hipotek dengan dasar dolar dan tak mampu membayar kembali hipotek mereka," kata Komasa.
Oleg Kharchenko, pengusaha yang berusia 35 tahun dari Kiev, mengatakan hasil penjualan merosot sebab orang menghemat pengeluaran mereka. Selain itu, jadi tak masuk akal untuk mengimport barang dari luar negeri akibat nilai tukar yang tidak stabil. "Sebagian perusahaan, terutama improtir, dipaksa untuk beroperasi dengan menderita rugi, cuma untuk tetap berada di pasar tanpa kehilangan pelanggan," kata Kharchenko.
Menurut Kharchenko, susana usaha di Ukraina masih menyimpan banyak keinginan dengan harapan tinggi bakal ada perbaikan. "Semuanya masih seperti sebelumnya --pajak masih tinggi dan pihak berwenang terus menekan pengusaha," kata Kharchenko.
Ia menambahkan ia menduga tak ada perkembangan positif pada 2015, kalau pemerintah tak mengubah kebijakannya mengenai peraturan kegiatan usaha. "Pemerintah diharapkan ... akan melaksankan pembaruan yang dijanjikan dan meningkatkan dukungannya buat pengusaha. Daripada memboroskan pinjaman internasional untuk menyelesaikan masalah jangka pendek, pemerintah mestinya menanam modal pada pembukaan proyek perusahaan dan bisnis baru guna mendorong ekonomi dan menciptakan lapangan kerja baru," kta Kharchenko.
Meskipun krisis ekonomi dipandang sebagai tantangan paling kritis di wilayah Ukraina yang tenang, rakyat di bagian timur negeri itu menghadapi masalah yang lebih serius --konflik berdarah di tanah air mereka. "Tahun ini (2014) telah menjadi masa paling buruk dalam hidup saya. Saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa rumah terbakar di permukiman dan orang-orang berguguran. Saya ketakutan," kata Nadezhda Chmihun, pensiunan yang berusia 72 tahun dan tinggal di Kota Kecil Gorlovka di Wilayah Donetsk, melalui telepon kepada Xinhua.
Wanita itu mengatakan selama konflik ia menyadari rakyat biasa cuma "menjadi umpan yang digunakan dalam permainan politik oleh kekuatan yang berbeda". "Jelas bahwa baik pemerintah Ukraina atau gerilyawan tak peduli pada kami. Mereka cuma menyelesaikan masalah mereka sendiri. Secara jujur, harus dikatakan bahwa Ukraina memberi rakyat di sini pensiun yang mencegah kami mati kelaparan," kata Chmihun.
"Satu-satunya yang saya harapkan dari Tahun Baru ialah berakhirnya perang. Saya mau semuanya seperti sedia kala. Udara yang tenang dan damai adalah yang paling penting, sementara krisis ekonomi adalah masalah kedua, kami akan menanganinya," tambah perempuan tersebut.
Berakhirnya konflik di bagian timur negeri itu adalah juga harapan Tahun Baru bagi Pavlo, prajurit kontrak yang berusia 21 tahun, yang ikut dalam operasi militer pemerintah terhadap gerilyawan. "Tentu saja, saya siap mempertahankan negara saya dan tanah air saya sebagai patriot, tapi saya benar-benar tidak mengerti untuk apa kami berperang," kata Pavlo, yang memilih untuk tidak menyebutkan nama belakangnya, dalam percakapan telepon dengan Xinhua.
Walaupun ia menekankan ia sangat mengharapkan "gencatan senjata sejati" dengan gerilyawan, Pavlo mengatakan ia menduga konflik tersebut takkan segera berakhir.