REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH -- Pemimpin Palestina telah menghadapi ancaman dan tekanan sejak upayanya belum lama ini untuk bergabung dengan Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Demikian diungkap Presiden Palestina Mahmoud Abbas pada Selasa (6/1).
"Setelah kegagalan di Dewan Keamanan PBB, kami memutuskan untuk menyampaikan keluhan ke mahkamah terbesar di dunia, meskipun kami menghadapi tekanan dan ancaman yang masih berlangsung," kata Abbas, sebagaimana dikutip Xinhua, Rabu (7/1)
"Namun kami katakan, kami mempertahankan tanah kami."
Pernyataan tersebut dikeluarkan saat Abbas menjelaskan kepada para pemimpin, ayah dan tokoh agama dari Kristen Ortodoks Palestina di Bethlehem, Tepi Barat Sungai Jordan. Mereka sedang merayakan Natal berdasarkan kalender Ortodoks.
Dua pekan sebelumnya, Yordania --melalui kerja sama dengan palestina-- mengajukan rancangan resolusi, yang didukung oleh Liga Arab yang intinya menyerukan diakhirinya pendudukan Israel paling lambat sampai 2017.
"Sebab kami merasa kecewa dengan semua upaya yang dilancarkan untuk mencapai penyelesaian ... Jadi kami mengajukan permohonan kepada masyarakat internasional tapi bukan untuk kekerasan atau pembunuhan," ucapnya.
"Kekerasan bukan kebijakan kami," kata Abbas.
Ia menambahkan, "Kami mengajukan kepada dunia dan lembaga diplomatik dan politik untuk meraih hak kami dan memperoleh hak untuk menentukan nasib sendiri bagi rakyat kami yang hidup di bawah pendudukan selama enam dasawarsa."