REPUBLIKA.CO.ID, VICTORIA -- Internet dan jejaring seakan membuat dunia menjadi lebih sempit. Namun jejaring sosial bisa penuh dengan rasa kebencian, seperti rasis, seksis, dan cyberbullying. Kekerasan di dunia maya kini sudah menjadi bagian dari masalah yang dihadapi oleh anak-anak.
Teknologi dan internet di kalangan anak-anak semakin dikenal di usia dini. Di Australia, bahkan di negara-negara lain, seperti Indonesia, anak-anak pun semakin beresiko mengalami kekerasan di dunia maya.
Kekerasan ini bisa berbentuk penghinaan, perdebatan yang berpuncak pada rasa kebencian. Dari data statistik ditemukan 20 persen anak-anak berusia belasan tahun di dunia pernah mengalami kekerasan di dunia maya.
Angka ini bisa lebih tinggi lagi, karena 95 persen diantara anak-anak muda tidak melakukan apapun saat mengalami cyberbullying. Bahkan mereka tidak menyadari kalau telah menjadi korban dari cyberbullying.
Menyadari akan resiko yang akan dialami oleh para siswa, sejumlah sekolah di negara bagian Victoria meminta bantuan agar membekali siswa-siswanya dengan pengetahuan soal kekerasan di dunia maya.
"Karena murid-murid telah berkecimpung di dunia internet, seperti berenang di air keruh. Kami ingin agar mereka bisa lebih percaya diri untuk membuat keputusan soal apa yang dipikirkan dan dirasakannya," ujar Kathleen Tehan, guru di salah satu sekolah di Victoria.
Komisi anti pencemaran nama baik di Australia, kini memperkenalkan masalah-masalah kebencian yang dialami oleh banyak orang di seluruh dunia. Misalnya kebencian yang berbau rasis dan seksis, kebencian terhadap para pasangan sesama jenis, dan lainnya.
Setelah memperkenalkan kebencian dan alasan-alasan dibaliknya, mereka memfokuskan pada bagaimana masalah tersebut terbentuk lewat dunia maya.
"Anak-anak sekarang telah memiliki telepon genggam, tablet, bahkan hal terakhir yang dicek sebelum tidur adalah layar gadget mereka. Jadi semua informasi di seluruh dunia bisa diakses lewat jari tangan mereka," kata Brett Kaye, salah satu fasilitator.
Program ini telah dilakukan di 20 sekolah publik dan swasta di Victoria. Tetapi program ini tidak hanya memperkenalkan cyberbullying, juga mempelajari apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut. "Kita mempersiapkan mereka dengan saluran bagaimana mereka bisa berpikir dan bertindak secara positif saat menghadapinya di dunia maya. Selain juga agar mereka lebih memahami apa yang mereka lihat dan rasakan ," jelas Brett.
Sejumlah murid-murid yang telah menerima pelatihan ini pun merasakan manfaatnya. "Sekarang kita tahu kalau ada sesuatu yang salah dan tidak berkenan di jejaring sosial bisa dilaporkan. Saya pernah melakukannya saat ada foto yang berbau rasis di akun Instagram saya," ujar salah satu siswi.
"Pada dasarnya kita semua adalah manusia yang punya perasaan, jadi kalau ada yang menyakiti perasaan, kita harus melakukan sesuatu," ujar siswa lainnya.
Tahun 2015 ini rencananya program-program untuk pengenalan dan cara mengatasi masalah cyberbullying akan diperkenalkan lebih luas di sekolah-sekolah dasar di negara bagian Victoria.