Sabtu 10 Jan 2015 14:14 WIB

Penembakan Paris Bukti Keterbatasan Badan Intelijen

Rep: Ani Nursalikah/ Red: Winda Destiana Putri
Sebuah lilin dinyalakan sebagai pernyataan berduka cita terhadap penembakan terhadap kantor majalah Charlie Hebdo di Paris, Prancis.
Foto: ap
Sebuah lilin dinyalakan sebagai pernyataan berduka cita terhadap penembakan terhadap kantor majalah Charlie Hebdo di Paris, Prancis.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Penembakan mematikan di Perancis pekan ini menunjukkan keterbatasan badan mata-mata dan antiteroris.

Badan intelijen kerap memiliki informasi mengenai para pelaku kejahatan, namun hanya mampu merangkai semua petunjuk setelah insiden berdarah terjadi.

Dari serangan 11 September 2001 di Amerika Serikat hingga serangkaian serangan di Eropa dan wilayah lain di dunia, pejabat keamanan dan intelijen mengatakan masalah kunci terhubung dengan data massa.

"Kapanpun sesuatu berjalan buruk, hal pertama yang kau lakukan adalah memeriksa seluruh basis data. Selalu, anda memiliki sesuatu. Itu tak terelakkan," ujar mantan direktur badan intelijen Amerika CIA dan Badan Keamanan Nasional AS Jenderal Michael Hayden.

Mantan analis CIA Bruce Ridel mengatakan masalah bagi badan intelijen dan keamanan Perancis adalah banyak warga Perancis yang pergi ke Suriah atau Irak untuk berperang dan kembali pulang sehingga tidak bisa dipantau penuh.

"Jika mereka tidak melanggar hukum, badan intelijen di dunia demokratis tidak bisa menahan atau mengikuti mereka seharian penuh," ujar Ridel dilansir Reuters, Sabtu (10/1).

Dia menambahkan dalam sebagian besar kasus intelijen tidak bisa memperkirakan kapan seorang fanatik berubah menjadi pemikir radikal lalu menjadi teroris yang melakukan kekerasan.

Badan intelijen Perancis dan AS beberapa tahun lalu menggolongkan tersangka penembakan kantor majalah Charlie Hebdo Said dan Cherif Kouachi sebagai tersangka terorisme prioritas. Nama berada berada dalam daftar TIDE, sebuah database rahasia yang berisi 1,2 juta orang yang dianggap sebagai tersangka teroris oleh AS.

Mereka dilarang melakukan penerbangan ke atau di Amerika. Kedua kakah beradik itu merupakan target prioritas tinggi untuk diawasi setelah Cherif diduga bergabung dalam kelompok yang merekrut warga Perancis bagi Alqaidah di Irak. Sedangkan Said berlatih dengan Alqaidah di Yaman pada 2011.

Pejabat AS dan Eropa yang tidak ingin disebutkan namanya mengatakan otoritas Perancis menurunkan pengawasan terhadap dua bersaudara itu karena mereka beberapa tahun terakhir mereka tidak menunjukkan aktivitas berarti.

Pejabat itu mengatakan setelah Said kembali dari Yaman, dia  dan saudaranya menghindari kontak dengan orang lain yang mereka tahu berada dalam pengawasan. Pejabat itu mengatakan hal ini mengindikasikan kemungkinan mereka merencanakan serangan selama bertahun-tahun.

Pejabat keamanan AS dan Eropa mengatakan penegak hukum dan badan mata-mata harus memprioritaskan mana tersangka yang dipantau ketat. Sebab, jumlah tersangka potensial sangat banyak dan pengawasan membutuhkan banyak sumber daya manusia.

Badan mata-mata harus menugaskan sekitar 30 personel setiap hari untuk mengawasi seorang tersangka dan mengikuti setiap kontak yang mencurigakan yang ia temui. Tantangan itu semakin rumit dengan ribuan warga asing yang bergabung dengan kelompok radikal di Suriah dan kembali dengan pengalaman di medan perang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement