REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO – Charlie Hebdo merupakan majalah satir yang terkenal sering memperolok agama, politikus, serta pelbagai kondisi sosial yang terjadi di Prancis. Demikian pula, mayoritas kaum Muslim Eropa tidak luput menjadi sasarannya. Muslim Eropa melihat karikatur majalah Charlie Hebdo sering kali mengusik kesakralan ajaran Islam.
“Kaum Muslim di Eropa merupakan kelompok minoritas yang muncul belum lama ini. Menurut saya, tidak heran bahwa mereka begitu peka akan sikap rasisme dan stigma dari masyarakat Eropa, baik itu secara terbuka maupun tersamarkan,” kata dosen senior bidang Studi Islam dan Politik di City University, London, Sara Silvestri kepada International Business Times, akhir pekan kemarin.
Sara menambahkan, umat Islam Eropa merupakan kaum minoritas yang masih dalam proses pemantapan identitas. Sehingga, hal itu mengapa kaum Muslim di Eropa begitu sensitif akan setiap bentuk satir terhadap ajaran Islam.
Apalagi, kaum Muslim di Prancis yang jumlahnya tidak lebih dari 7,5 persen dari total populasi, kerap dinilai gagal melebur ke dalam masyarakat sekular.
Di Prancis, kaum Muslim menghadapi banyak persoalan sosial-ekonomi. Misalnya, penghasilan yang lebih kecil ketimbang mayoritas warga, stereotip buruk, dan bahkan tindakan kekerasan. Segala simbol yang berkaitan dengan Islam, misalnya hijab, dilarang di ruang-ruang publik, termasuk sekolah, di Prancis.
Ruang gerak umat Islam kian tersudut bahkan tanpa mesti dicoreng dengan label dan tindakan ekstremisme. Didukung dengan kuatnya sekularisme di masyarakat Prancis, majalah Charlie Hebdo membidik antara lain kaum Muslim sebagai sasaran yang mudah dikritisi.
Bagaimanapun, kaum Muslim sendiri menolak kritik satir dari majalah tersebut sebagai sesuatu yang pantas mereka terima.
“Masalahnya bukan pada penghinaan karikatur majalah tersebut terhadap ajaran Islam yang sakral. Alih-alih begitu, karikatur itu dinilai bermuatan rasisme tensi tinggi, yang diarahkan langsung kepada kaum Muslim,” kata profesor Studi Timur Tengah dan Etika di University of California, Berkeley, Dr Hatem Bazian kepada Islam Online