Selasa 13 Jan 2015 13:41 WIB

Serangan Charlie Hebdo dan Jebakan Kaum Ekstremis

Rep: Satya Festiani/ Red: Julkifli Marbun
Salah satu edisi majalah Charlie Hebdo.
Foto: Stripsjournal
Salah satu edisi majalah Charlie Hebdo.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Serangan terhadap Kantor Surat Kabar Charlie Hebdo di Paris mengingatkan bahwa jebakan yang dibuat kalangan ekstremis dalam menciptakan permasalahan antar agama sudah keterlaluan dan melampaui batas.

Profesor Islam Kontemporer dari Oxford, Tariq Ramadan, berpendapat bahwa serangan yang menewaskan 12 orang tersebut tidak ada kaitannya dengan pesan dari agama Islam.

"Serangan terhadap Charlie Hebdo memaksa kita untuk bersikap konsisten. Kita harus mengecam apa yang terjadi di Paris. Saya berharap semua orang mengambil sikap jika ada kejadian yang mengatasnamakan agama mereka. Sebagai seorang sarjana Muslim, saya mengambil sikap tersebut," ujar Tariq Ramadan dalam artikelnya yang berjudul Serangan Paris Membajak Islam Tetapi Tidak Ada Perang Antara Islam dan Barat yang dipublikasikan oleh The Guardian.

Para penyerang Charlie Hebdo tersebut mengatakan bahwa serangan terebut ditujukan untuk membela nabi. Majalah tersebut memang pernah menerbitkan gambar sindiran kartun Nabi Muhammad SAW, yang dinilai menjadi bagian dari penistaan agama. Tariq mengatakan, para penyerang salah jika mereka berdalih seperti itu dan menyerang Charlie Hebdo.

"Mereka telah mengkhianati dan menodai prinsip dan nilai-nilai keislaman," ujarnya.

Tariq mengatakan, serangan terhadap warga barat di Paris tersebut memang patut dikecam, tetapi harus juga dilihat bahwa masih ada ratusan orang yang dibunuh setiap harinya di Suriah dan Irak. Hidup warga Muslim di negara-negara Muslim mayoritas seharusnya sama berharganya dengan hidup orang yang tinggal di barat.

Tariq mengaku pernah bertemu dengan kartunis Charlie Hebdo, Stephane Charbonnier, yang juga tewas dalam serangan tersebut. Tariq dan Charb berdebat tentang kebebasan berpendapat. Tariq mengatakan agar Charb menggunakan hak tersebut dengan benar.

Pasalnya, pada 2008 lalu Charlie Hebdo memecat seorang kartunis yang membuat gurauan tentang hubungan Yahudi dengan anak Presiden Sarkozy. "Saya bertanya padanya, di mana kebebasan berekspresi? Saya mengatakan padanya bahwa ada batasan dalam kebebasan berekspresi. Tidak semuanya dapat diutarakan," ujarnya.

Hal yang telah dilakukan Charlie Hebdo memang menimbulkan kecaman. Banyak juga yang mengancam majalah tersebut. Namun, Tariq mengatakan tidak sepantasnya serangan itu dilihat sebagai perang antara Islam dan Barat.

Jika serangan tersebut dianggap sebagai perang, berarti kedua belah pihak menyetujuinya. "Ini jebakan yang dibuat kalangan ekstremis," ujarnya.

Serangan itu, menurutnya, adalah tindakan para kriminal yang mengeksploitasi Islam. Korban sebenarnya dalam serangan ini adalah umat Islam. Ketegangan juga terasa di beberapa negara.

Di Prancis, dua buku yang baru diterbitkan merefleksikan jebakan tersebut. Buku karya Eric Zemmour berjudul The French Suicide memprovokasi ketakutan bahwa jutaan kaum Muslim akan mendiami dan mengubah Prancis.

Sementara itu, Michel Houellebecq dalam novelnya yang berjudul Submission memancing kekhawatiran bahwa pada tahun 2022 partai berbau Islam akan mengambil alih Prancis. Tiga tahun sebelumnya, Houellebecq mengatakan bahwa Islam adalah agama terbodoh di dunia.

"Gelombang tersebut harus kita hentikan. Para politisi, intelek, jurnalis, Muslim, dan penganut agama lainnya harus menyatukan prinsip," ujarnya.

Baginya, pemuka berbagai agama harus menyatukan pendapat bahwa mereka sedang dijebak oleh kalangan ekstremis dari mana saja latar belakangnya.

Sementara itu, kolumnis hubungan internasional dari Washington Post, Fareed Zakaria, mengatakan bahwa banyak yang salah mengerti mengenai arti penistaan agama. Menurutnya, Al Quran sama sekali tidak pernah mengatur masalah ini.

Dia menjelaskan, dalih para teroris untuk membalas dendam atas apa yang dilakukan majalah tersebut tidak berdasar, walau mereka berdalih atas nama agama.

"Padahal, Al-Quran tidak menyebutkan hukuman bagi mereka yang menistakan agama. Undang-undang penistaan agama adalah buatan politisi dan pemuka agama yang memiliki agenda politik," ujar Fareed.

Menurutnya, justru kitab suci yang paling memperhatikan masalah penistaan agama adalah Alkitab. Dalam Perjanjian Lama, penistaan agama dan para penista harus mendapatkan hukuman keras, seperti yang dikutip dari Leviticus 24:16.

Kendati demikian, banyak negara Muslim yang memiliki undang-undang anti-penistaan agama dan kemurtadan.

Pakistan merupakan salah satu negara yang mengampanyekan UU anti-penistaan agama. Pada Maret, sekitar 14 orang dihukum mati dan 19 orang dihukum seumur hidup. Seorang pemilik media terbesar di Pakistan pun dihukum penjara 26 tahun karena salah satu tayangan medianya.

Menurutnya, hal yang sama terjadi di Bangladesh, Malaysia, Mesir, Turki, Sudan dan bahkan di Indonesia yang moderat.

Dia lebih rinci menyoroti UU anti-penistaan agama di Pakistan. Menurutnya UU lahir saat mantan Presiden Pakistan Mohammed Zia ul-Haq ingin memarginalkan oposisi demokrat dan liberal

Lalu, dia menerapkan konsep Islam yang fundamental. Dialah yang mengesahkan UU berbau Islam, termasuk hukuman mati atau penjara seumur hidup bagi mereka yang mencela Nabi Muhammad SAW.

Namun, saat Pakistan ingin mengurangi pengaruh kalangan fanatik belakangan ini, para ektremis mengambil alih hukum itu dan menerapkannya sendiri.

Bagi Fareed, UU anti penistaan agama, hanyalah produk politik dari berbagai negara untuk menjamin keamanan dalam negerinya. UU ini bisa saja dibajak oleh kalangan teroris untuk agendanya sendiri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement