Jumat 16 Jan 2015 00:00 WIB

Isu Charlie Hebdo Diyakini Iran Berimbas ke Dialog Nuklir

para pemimpin negara bergandengan tangan dalam peringatan Charlie Hebdo
Foto: jpost.com
para pemimpin negara bergandengan tangan dalam peringatan Charlie Hebdo

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Menteri Luar Negeri Iran, Rabu, mengatakan bahwa dialog serius dengan Barat akan lebih mudah jika Barat menghormati sensitivitas Muslim, yang dikoyak oleh kartun terbaru Charlie Hebdo, saat ia mengadakan pembicaraan nuklir dengan pimpinan diplomat Amerika Serikat.

Berbicara kepada wartawan sebelum bertemu dengan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry, Mohammad Jawad Zarif mengatakan pertemuan itu akan membantu mengukur apakah kedua belah pihak siap untuk mencapai kesepakatan guna mengekang program nuklir Iran sebagai imbalan pencabutan sanksi.

"Saya pikir ini penting. Saya pikir itu akan menunjukkan kesiapan kedua pihak untuk bergerak maju dan untuk mempercepat proses," kata Zarif kepada wartawan saat ia menanti Kerry, yang tiba empat menit terlambat untuk pertemuan mereka di sebuah hotel di Jenewa.

Dua orang itu bertemu selama sekitar 90 menit, istirahat untuk makan siang, dan kemudian melakukan sesi kedua yang berlangsung sekitar tiga setengah jam, termasuk jalan santai bersama melalui pusat kota Jenewa.

"Kami bekerja keras," kata Kerry wartawan saat berjalan kaki sekitar 15 menit menyusuri sepanjang Sungai Rhone yang mengalir keluar dari Danau Jenewa, menurut seorang pejabat Amerika Serikat.

Iran dan enam kekuatan dunia telah memperbaharui pencarian mereka untuk kesepakatan nuklir yang sulit - yang dianggap penting untuk mengurangi risiko yang lebih luas terjadinya perang Timur Tengah - setelah perundingan gagal untuk kedua kalinya pada bulan November guna memenuhi tenggat waktu.

Sesi pertemuan Kerry-Zarif mengawali pemulihan kembali pembicaraan kolektif yang melibatkan seluruh tujuh negara pada 18 Januari.

Perjanjian itu, yang batas waktu barunya ditetapkan pada 30 Juni, akan secara bertahap mencabut sanksi keuangan dan perdagangan yang dikenakan pada Republik Islam itu sejak tahun 2006 sebagai imbalan untuk pembatasan pengayaan uranium untuk memastikan negara itu tidak dapat mengembangkan senjata nuklir.

Republik Islam itu mengatakan hanya menginginkan energi sipil dari pengayaan itu, menyangkal kecurigaan Barat atas adanya agenda bom laten.

Ketika ditanya apakah ia berharap mereka bisa menyepakati kesepakatan itu pada 1 Juli, Zarif mengatakan: "Itulah mengapa kami di sini. Kami akan melihat."

Zarif juga berusaha untuk menjelaskan mengapa Iran kecewa dengan sampul edisi 14 Januari mingguan satir Prancis Charlie Hebdo, yang menampilkan kartun Nabi Muhammad menangis dengan tanda "Je suis Charlie" (Saya Charlie) di bawah judul: "tout est pardonn" (Semua diampuni).

Banyak umat Muslim menganggap penggambaran Nabi Muhammad sebagai penghujatan.

Tujuh belas orang tewas dalam aksi kekerasan di Paris pekan lalu yang dimulai dengan serangan 7 Januari oleh dua orang bersenjata di kantor Charlie Hebdo, di mana 12 orang tewas termasuk kartunis senior jurnal itu, dan berakhir dengan pengepungan di sebuah supermarket pada 9 Januari di mana empat orang tewas.

Seorang polisi juga ditembak mati di tempat lain di jalanan. Tiga orang bersenjata yang terlibat tewas dalam penggerebekan oleh pasukan khusus Prancis.

"Kami percaya bahwa kesucian harus dihormati," kata Zarif. "Kami tidak akan mampu terlibat dalam dialog yang serius jika kita tidak menghargai nilai-nilai masing-masing."

Mohammad Nahavandian, pembantu Presiden Iran Hassan Rouhani, mengatakan sebelum pertemuan, "Pemerintah telah mengambil sikap konstruktif terhadap isu nuklir dan ada harapan besar untuk mencapai hasil yang baik."

Alqaidah di Yaman mengaku bertanggung jawab atas serangan penembakan di Charlie Hebdo. Kelompok itu mengatakan bahwa aksi itu diperintahkan oleh pimpinan kelompok milisi Islam karena penghinaan atas Nabi Muhammad, menurut sebuah video yang diunggah di YouTube.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement