Jumat 16 Jan 2015 00:02 WIB

Charlie Hebdo, Surat untuk Kaum Liberal Fundamentalis

Rep: Ani Nursalikah/ Red: Julkifli Marbun
Tampilan laman Aplle Prancis terkait Charlie Hebdo.
Tampilan laman Aplle Prancis terkait Charlie Hebdo.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Politik Huffington Post Inggris Mehdi Hasan menyampaikan pendapatnya mengenai kemunafikan kebebasan berbicara terkait insiden penembakan kantor majalah Charlie Hebdo.

Media ini kembali menerbitkan edisi barunya dengan gambar Nabi.

Mehdi yang merupakan seorang Muslim menulis pendapatnya dalam bentuk surat yang ia tujukan bagi kaum cendekiawan liberal.

Dalam suratnya dia mengatakan dirinya tidak suka dengan mantan presiden AS George W Bush. Dia menganggap Bush melakukan deklarasi yang kekanak-kanakan setelah tragedi 11 September 2001.  Saat itu Bush mengatakan "pilih apakah kalian bersama kami atau bersama teroris?"

Ini isi sebagian suratnya yang dikutip dari blognya di media tersebut berjudul 'As a Muslim, I'm Fed Up With the Hypocrisy of the Free Speech Fundamentalists'.

Kini, dengan adanya serangan mengerikan terbaru di Paris, pertanyaan itu berubah menjadi "apakah kalian memilih kebebasan berbicara atau menentangnya?"

Saya menulis kepada kalian untuk menyederhanakannya: tolong berhenti. Kalian pikir kalian menentang teroris ketika, pada kenyataannya, kalian justru bermain dengan tangan mereka yang berlumuran darah dengan adanya pemisahan dan pengecaman.

Kalian terus mengatakan serangan di Charlie Hebdo 7 Januari lalu adalah serangan terhadap kebebasan berbicara. Mantan Presiden Prancis Nicolas Sarkozy bahkan menyebutnya perang terhadap peradaban.

Di tengah rasa sakit usai penyerangan itu, tidak bisa dibantah serangan tersebut adalah tindakan jahat yang tidak bisa diukur, pembunuhan yang tidak dapat dimaafkan atas hilangnya nyawa orang tidak berdosa.

Tetapi apakah itu adalah tindakan untuk membunuh kebebasan berbicara, untuk menodai ide-ide pemikiran bebas kita? Itu adalah kejahatan, bukan tindakan perang, yang dilakukan pemuda yang tidak menjadi radikal karena kartun Nabi di Eropa pada 2006 atau 2011, tapi karena penyiksaan yang dilakukan AS di Irak pada 2004.

Silakan cari pegangan. Kita percaya pada kebebasan berbicara. Kita setuju selalu ada garis untuk itu, demi tujuan hukum dan ketertiban, yang tidak bisa dilewati. Atau, demi alasan kesusilaan garis itu tidak bisa diseberangi. Kita hanya berbeda sejauh mana batasan garis itu.

Coba pikirkan, apakah surat kabar anda membuat kartun yang mengejek Holocaust? Tidak? Bagaimana dengan karikatur korban 9/11 yang jatuh dari menara kembar? Saya pikir tidak (dan saya lega itu tidak terjadi). Pikirkan juga eksperimen pemikiran yang ditawarkan ahli filodofi Oxford Brian Klug.

Bayangkan bagaimana jika ada seorang pria yang bergabung dalam aksi solidaritas di Paris 11 Januari lalu dengan mengenakan tulisan "Je Suis Cherif", nama pelaku dan membawa karikatur yang mengejek jurnalis yang tewas. Bagaimana kira-kira masyarakat akan bereaksi?

Apakah mereka akan memandangnya sebagai pahlawan yang berdiri membela kebebasan berbicara? atau mereka justru akan merasa tersinggung? Apa anda setuju dengan kesimpulan Klug yang mengatakan pria itu beruntung jika masih hidup?

Saya setuju tidak ada pembenaran apapun untuk menembak jurnalis atau kartunis. Saya tidak setuju dengan pandangan yang mengatakan hak untuk menghina tidak ada pertanggungjawabannya. Dan saya tidak setuju hak untuk menghina secara otomatis berarti ada hak untuk membalas hinaan itu.

Mencerca rasisme dengan mereproduksi citra rasis yang berani adalah taktik satir yang cukup meragukan. Mengapa anda diam dengan standar ganda yang jelas-jelas kelihatan?

Tahukah kalian Charlie Hebdo memecat kartunis senior Prancis Maurice Sinet pada 2008 karena diduga membuat kartun antiSemitik? Surat kabar Denmark Jyllands-Posten yang menerbitkan karikatur Nabi Muhammad pada 2005 dilaporkan menolak kartun yang mengejek Yesus karena hal itu akan memicu protes keras. Koran itu juga tidak mempublikasikan kartun Holocaust karena menganggapnya tidak penting.

Selain itu, dia mengatakan banyak kalangan menganggap Muslim sebagai ancaman bagi kebebasan berbicara dan menutup mata terhadap ancaman yang lebih besar yang dilakukan pemimpin yang kita pilih.

Hasan mengatakan bagaimana mungkin kita tidak muak melihat Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang bertanggung jawab atas pembunuhan tujuh jurnalis Gaza pada 2014 menghadiri aksi solidaritas di Paris. Bibi, sebutan bagi Benjamin, bergabung bersama Angela Merkel, kanselir sebuah negara dimana penyangkalan terhadap Holocaust bisa dihukum hingga lima tahun penjara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement