REPUBLIKA.CO.ID, BUKIT MERTAJAM -- Malang benar Abul Kassim. Pencari suaka asal Rohingya ini ditemukan tewas berdarah-darah dan babak belur pada 13 Januari 2015 lalu. Sehari sebelumnya, ia diculik dari rumahnya di Penang, Malaysia bagian utara.
Pasca ditemukan jasad Abul, polisi mencari pembunuh pria 40 tahun tersebut. Beberapa waktu kemudian, polisi Penang mengatakan dalam pernyataan bahwa mereka menyelamatkan 17 migran Rohingya yang ditahan di sebuah rumah di Kedah.
Enam orang terduga pelaku perdagangan manusia asal Malaysia, Myanmar dan Bangladesh ikut ditahan dalam aksi penyergapan. Aktivis Rohingya mengatakan pembunuhan Abul Kassim kemungkinan besar dilakukan oleh pelaku perdagangan manusia.
Mereka akan melakukan tindakan seekstrim apa pun untuk melindungi bisnis menguntungkan tapi ilegal itu. Menurut presiden Rohingya Society di Malaysia, Abdul Hamid, Kassim sering memberi informasi pada polisi terkait kegiatan pelaku perdagangan manusia itu.
Kasus pembunuhan seperti ini pernah terjadi sebelumnya pada 2013 dan
2014 di Penang. Keluarga dan rekan korban mengatakan pada Reuters mereka diculik dari rumah, di kedai kopi dan dari jalan. Salah satu dari mereka disiksa setelah dibawa oleh para pedagang dari Thailand.
Tiga dari empat kasus berakhir dengan pembunuhan. Kelompok hak asasi manusia Asia Tenggara Fortify Rights mendokumentasikan tiga dugaan pembunuhan warga Rohingya lainnya tahun lalu. Pembunuhan juga dilakukan pelaku perdagangan manusia.
Kekerasan pada migran secara luas sering dilakukan. Sejak 2012, lebih dari 100 ribu Muslim Rohingya melarikan diri dari Myanmar. Sebagian besar dari mereka bertujuan ke Malaysia karena dianggap negara makmur.
Sebagian besar menilai negara ini lebih aman.
Sebagian lagi melarikan diri ke Thailand. Namun di sana, biasanya mereka ditahan di kemah di hutam sebelum mereka ditukar dengan uang tebusan.
Kasus pembunuhan atau kekerasan pada migran dinilai mendapat sedikit perhatian di Malaysia. Beberapa migran yang mengalami kekerasan sempat membawa kasus mereka pada pihak berwenang. Namun, polisi hanya sedikit melakukan aksi.
Media lokal pun tak banyak menyoroti kasus ini. Polisi Penang tidak memberi jawaban atas kasus pembunuhan Abul Kassim. Juru bicara kepolisian nasional, Asmawati Ahmad juga tidak menjawab pertanyaan Reuters pada kasus pembunuhan migran-migran Rohingya sebelumnya.
Namun, sebuah media lokal melaporkan polisi mengatakan pembunuhan Abul Kassim sepertinya berhubungan dengan uang. Seorang pemimpin Rohingya di Malaysia mengatakan mengganjar kejahatan pada Rohingya sulit karena adanya kekuatan dari para pedagang.
"Jika kita mencoba mencari informasi tentang mereka, mereka akan mendapatkan kita. Kami tidak aman," kata dia, yang tidak mau disebut namanya.
Pada kasus sebelumnya, pembunuhan menimpa Harun dan Sayed Noor pada
2013 dan 2014. Harun diculik dari toko di Penang dan ditahan selama seminggu. Penculik menelpon pamannya, Salim Mohammad dan meminta tebusan 7.000 ringgit atau 1.942 dolar AS.
Setelah dibebaskan Harun melapor pada polisi dan melarikan diri.
Sebagai balasan, para pelaku perdagangan ilegal menculik sepupunya Sayed Noor dan meminta tebusan 50 ribu ringgit. Beberapa bulan kemudian, Sayed ditemukan tewas termutilasi.
Pada awal 2014, Harun tertangkap dan beberapa bulan kemudian pamannya menerima telpon dari nomor Thailand. "Para pelaku perdagangan mengatakan mereka telah membunuh Harun," kata Salim.
Malaysia tercatat memiliki jutaan migran termasuk 150 ribu orang yang terdaftar sebagai pengungsi dan pencari suaka. "Jutaan dolar telah dihasilkan dari perdagangan Rohingya, ini tidak mengagetkan bahwa dengan keuntungan seperti itu bisa membawa pada aksi kekerasan,'' kata Direktur Eksekutif, Matthew Smith.
The United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) mengaku telah menerima banyak laporan terkait kekerasan, intimidasi dan eksploitasi pada pengungsi Rohingya, tapi tak bisa berbuat apa-apa.
"Di bawah hukum Malaysia, semua pengungsi tidak berdokumen dan merupakan migran ilegal. Sehingga tidak ada sistem yang akan menjamin perlindungan mereka," kata juru bicara UNHCR, Yante Ismail.