Jumat 30 Jan 2015 18:16 WIB

Warga Thailand Angkat Senjata Lawan Perdagangan Manusia

Rep: Gita Amanda/ Red: Julkifli Marbun
perdagangan manusia (illustrasi)
Foto: Republika/Mardiah
perdagangan manusia (illustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Mengenakan rompi anti peluru, senapan dan kacamata hitam, gaya Kompat Sompaorat layaknya anggota tim SWAT. Kompat merupakan satu dari sejumlah relawan warga Thailand yang frustasi dengan respon lesu pemerintah, mengatasi masalah perdagangan manusia.

Dengan gagah berani, Kompat mengangkat senjata dan melakukan patroli di salah satu rute penyelundupan manusia tersibuk di Asia. Sudah tiga bulan ini, puluhan relawan berpatroli di muara dan hutan-hutan di Provinsi Phang Nga. Wilayah itu sebenarnya terkenal sebagai salah satu tujuan wisata populer di selatan Thailand.

Motivasi Kompat dan kawan-kawan relawannya tak lain, karena tergerak dengan masalah kemanusiaan ini. Tak hanya itu, mereka juga khawatir akan kehadiran penyelundup bersejata dan pengungsi miskin di sekitarnya yang bisa menyebabkan peningkatan kejahatan.

"Ada orang-orang besar di balik perdagangan ini. Begitu besar, hingga kami tak bisa berbuat apa-apa. Kami tak bisa menyentuh mereka. Kami hanya bisa berusaha menyelamatkan para korban," kata Kompat saat tiba di kamp dekat desa Ban Bang Yai.

Wartawan Reuters sempat bergabung dengan relawan lain, yang kebanyakan merupakan nelayan dan penduduk desa, melakukan patroli. Hampir setiap hari mereka berpatroli untuk mencari manusia perahu yang mungkin bersembunyi di sepanjang pantai.

Kelompok relawan ini memiliki dana sangat terbatas dan peralatan yang tak memadai. Relawan lain Jessada Thattan mengatakan, mereka jelas-jelas kalah dibandingkan dengan apa yang dimiliki jaringan penyelundup yang kaya itu.

"Biasanya kami lebih lambat dari mereka. Mereka menggunakan perahu yang lebih bagus dari kami," ujar Jessada.

Sementara para relawan umumnya mendapat dana dari kabupaten Takua Pa, itu pun hanya sebagian dari total anggaran yang diperlukan. Untuk biaya lain seperti bensin misalnya, mereka biasanya merogoh kocek sendiri.

Relawan mengatakan memang belum menangkap seluruh penyelundup atau pelaku perdagangan manusia. Tapi selama tiga bulan ini, mereka telah menemukan lebih dari 220 Mislim Rohingya dan manusia perahu Bangladesh. Semuanya telah diserahkan ke polisi imigrasi.

Selain itu, lebih dari 130 orang yang diduga menjadi korban perdagangan manusia juga telah mereka temukan. Para korban itu dibuang oleh pelaku ke wilayah pesisir terpencil Phang Nga. Banyak dari mereka diculik atau ditipu  hingga terjebak dalam perdagangan budak trans-Atlantik.

Relawan sempat menemukan sekelompok korban yang tengah sakit, beberapa lainnya kelaparan dan dehidrasi. Para relawan mengatakan, penyelundup bisa menyembunyikan 300 sampai 500 Rohingya di pulau-pulau di seluruh distrik. Namun sekarang mereka (para pelaku), sudah lebih berhati-hati dalam menyembunyikan korban mereka.

"Taktik penyelundupan telah berubah," kata Jessada.

Setiap tahun ada ribuan warga Rohingya dan manusia perahu Bangladesh tiba di Thailand, dengan dibawa oleh penyelundup manusia. Mereka kemudian dibawa melalui jalan darat ke sejumlah kamp-kamp yang sudah tak layak. Para penyelundup ini menuntut sejumlah uang tebusan, agar bisa menyelundupkan korban ke selatan melintasi perbatasan ke Malaysia.

Mesi pemerintah baru Thailand telah berjanji untuk memerangi perdagangan manusia, namun para relawan mengatakan masuknya imigran gelap terus berkembang. Sedikit sekali upaya pemerintah untuk menghentikan penyelundupan manusia, yang kerap diiringi penyiksaan.

Tahun lalu, menurut laporan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat yang fokus pada masalah perdagangan Manusia menyatakan upaya pemerintah Thailand memerangi perdagangan manusia jatuh pada tingkat terendah. Padahal pemerintah Thailand telah berjanji meningkatkan upaya dan menyampaikan laporan tersebut pada Departemen Luar Negeri AS.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Thailand Sek Wannamethee mengatakan, mereka mendorong penduduk setempat untuk menjadi 'mata dan telinga' pemerintah daerah dalam membantu masalah ini. Dengan membina kemitraan dengan penduduk setempat menurutnya, terbukti membantu mendeteksi kegiatan ilegal dan penyelidikan.

"Tapi tentu saja, penegakan hukum dan administrasi masih menjadi tanggung jawab aparat penegak hukum dan pemerintah daerah," ujar Sek.

Kelompok Hak Asasi Manusia Fortify yang berbasis di Bangkok mengatakan, sangat memprihatikan jika ada warga yang mengangkat senjata untuk melawan perdagangan manusia. Menurut Direktur Eksekutif Fortify Matthew Smith, ini merupakan indikasi bahwa pemerintah tak memenuhi kewajiban mereka dalam memerangi masalah ini.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement