REPUBLIKA.CO.ID, AMMAN -- Sejumlah warga Yordania meminta pemerintahnya mengkaji ulang kebijakan membantu pasukan koalisi pimpinan AS di Irak dan Suriah menyusul ancaman eksekusi mati ISIS terhadap Pilot Yordania, Muath Al-Kasaesbeh, yang ditawan sejak akhir tahun lalu.
Keterlibatan Yordania atas misi memerangi ISIS meningkatkan tekanan publik terhadap kebijakan Raja Yordania Abdullah II dan memicu rasa ketidakpuasan terhadap hal tersebut.
Raja Abdullah II tetap tak bergeming dan mengatakan bahwa Muslim moderat harus memerangi kelompok yang radikal dan telah menghina semangat Islam.
Namun di kampung halaman Muath, puluhan pemuda melakukan protes dan meneriakkan slogan-slogan anti-koalisi serta menyerukan Raja untuk menarik dari bagian koalisi tersebut.
"Kami tidak akan menjadi sapi kurban untuk Amerika!" teriak salah satu demonstran, seperti dilansir Reuters, Senin (2/2).
Sejumlah analisis dan diplomat menilai langkah yang diambil Raja Abdullah II berbanding terbalik dengan yang dilakukan mendiang ayahnya, Raja Hussein.
Raja Hussein saat itu memutuskan tidak ikut dalam bagian kampanye militer pimpinan AS terhadap mantan diktator Irak Saddam Hussein setelah invasi ke Kuwait pada 1990. Sebaliknya, anaknya telah mengambil peran lebih berani dalam kampanye ini dengan mengirimkan jet ke Suriah untuk pertama kalinya.
Sikap Raja Abdullah II diyakini berasal dari keprihatinan tentang serangan mematikan Alqaidah di Yordania termasuk pemboman di sebuah hotel di Amman pada 2005, yang menewaskan 60 orang.
ISIS sendiri meminta Yordania membebaskan Sajida al-Rishawi, salah satu penyerang Hotel yang menjadi terpidana mati setelah dianggap terlibat dalam serangan tersebut. ISIS meminta pertukaran tawanan antara Rishawi dengan Muath. Namun, ISIS sejauh ini belum mengabulkan permintaan Yordania yang ingin mendapat bukti bahwa Muath masih hidup dan dalam keadaan yang baik-baik saja.
"Orang-orang akan menyalahkan rezim Yordania dan mereka akan mengatakan mengapa kau mengirimnya ke perang ini," kata Ali Dalaen, salah satu demonstran.
Dalaen yang memimpin demonstrasi pada Jumat (30/1), menyerukan pemerintahnya untuk mengakhiri keterlibatan militer dan menuduh pemerintah tidak bernegosiasi serius dengan ISIS terkait pembebasan Muath.
Sejumlah demonstran lainnya menduga pemerintahnya akan mengirim pasukan darat untuk bertempur melawan ISIS. "Kami mendesak ini bukan perang kami. Kami berharap kebijaksanaan pemerintah dan Raja," ujar Hind al-Fayez, seorang wakil dari suku Sakhr.