REPUBLIKA.CO.ID, KOBANI -- Pasukan Kurdi berhasil mengusir kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) dari kota Kobani di Suriah.
Namun pembebasan Kobani harus dibayar mahal. Kota tersebut bahkan kini tak layak disebut sebagai kota, mengingat kehancuran yang begitu parah.
Salah seorang wartawan The Guardian Emma Graham Harrison, menjadi saksi mata kehancuran Kobani sepeninggalnya ISIS. Harrison yang menjadi satu dari wartawan pertama di lokasi kejadian, membagi kisahnya.
Patung elang yang berada di Alun-alun Kebebasan masih berdiri tegak, menunjukkan 'keanggkuhan' Kobani.
Tapi sayang, di sekitarnya hampir tak ada lagi bangunan yang berdiri utuh. Berbulan-bulan penembakan berat di kota tersebut, menjadikan Kobani layaknya gunungan puing-puing bangunan.
Salah satu sisi jalan dipenuhi mayat-mayat pejuang ISIS, yang membusuk. Sementara di sisi lain, terdapat sejumlah bangunan sekolah dan rumah yang hancur. Sebelumnya tempat-tempat tersebut kerap dijadikan 'benteng' oleh para penembak jitu ISIS.
Kemenangan tak terduga pasukan Kurdi di kota utara Suriah tersebut memang menandai kehilangan besar secara strategis dan propaganda bagi ISIS.
Seperti diketahui sejak awal ISIS dikenal tak kenal ampun dengan mengamuk dan menguasai sejumlah wilayah di Irak dan Suriah.
Namun kebebasan Kobani harus dibayar mahal. Gunungan reruntuhan, selongsong peluru, ranjau darat, dan tumpukan mayat yang membusuk memenuhi Kobani. Belum lagi jaringan listrik dan air yang rusak. Kini Kobani seperti tak layak lagi disebut kota, yang tersisa hanya sebuah nama.
Salah seorang warga Kobani yang melarikan diri sebelum ISIS tiba di kota tersebut, Shamsa Shahinzada, mengatakan ia kehilangan kata-kata saat melihat kembali tanah kelahirannya.
Dengan air mata menggenang, ia mengisahkan bagaimana dahulu banyak orang memadati alun-alun yang kini telah hancur.
"Ini adalah rumah teman kami, kami biasa tinggal di sana. Ya Tuhan. Selain itu di sana ada sekolah, SMA saya," ujarnya.