Selasa 03 Feb 2015 16:47 WIB

Ketidakpastian Pengungsi CAR

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Julkifli Marbun
Peta Afrika Tengah
Foto: timeslive.co.za
Peta Afrika Tengah

REPUBLIKA.CO.ID, GBANGARA -- Desa Gbangara, tempat terpencil di pinggir sungai di Afrika Barati ini telah menjadi setitik cahaya bagi ribuan orang Republik Afrika Tengah (CAR). Hampir lima jam perjalanan dibutuhkan untuk mencapainya dari kota perbatasan Gbadolite, itu pun melalui hutan.

Sekitar 4.000 orang telah menetap di sana. Melarikan diri dari kejahatan kemanusiaan yang terjadi di tanah kelahiran mereka. Di sana, pembunuhan, pemerkosaan, penyitaan, penghancuran rumah telah menjadi ancaman setiap detiknya.

Para pengungsi ini biasanya akan mengambil resiko mengarungi sungai menuju Gbangara dengan perahu kano. Dengan perahu yang terbuat dari batang pohon itu mereka hanya butuh waktu dua jam perjalanan.

Meski di depan mereka, ketidakpastian sudah menjadi hal yang pasti. Valentine Pasi adalah salah satu diantaranya. Ia dan lima saudara iparnya, termasuk seorang bayi memilih mengarungi sungai Ubangi untuk menyelamatkan diri.

Menurut pejabat imigrasi, gelombang pengungsi dari CAR mencapai lebih dari 30 ribu orang dalam satu bulan terakhir. Mereka menyingkir ke perbatasan Kongo dengan perahu kano nelayan sambil membawa beberapa barang keperluan.

Beberapa bahkan berlayar dengan luka peluru. Di Gbangara, biasanya mereka mendirikan tempat berteduh seadanya dari cabang pohon dan rumput kering. Mereka makan singkong, ikan dan buah yang diperoleh dari lingkungan sekitar.

Bukit-bukit CAR masih terlihat dari desa tersebut. Kadang, suara baku tembak masih terdengar dengan jelas, menandakan pertempuran antara milisi anti Balaka (sebagian besar Kristiani) dan Seleka (sebagian besar Muslim) masih berlangsung.

Saking lamanya para pengungsi ini bermukim di sana, mereka bisa mendirikan gereja.

Bulan lalu, kelompok hak asasi manusia, Human Right Watch melaporkan ratusan Muslim di bagian barat CAR terjebak dalam kantong pengungsian dalam kondisi menyedihkan. Awal tahun lalu, Seleka menginvasi sebuah pulau di Sungai Ubangi dan menewaskan tiga orang.

Pulau tersebut sering menjadi tempat persimpangan. Selain Pasi, Karakete dan keluarganya juga mulai mengukir hidup baru di Gbangara. Jean Deni yang merupakan seorang perawat telah menetap di desa tersebut sejak November lalu bersama istri dan tiga anaknya.

"Hidup di sini tidak mudah," kata Deni, dikutip Guardian. Banyak orang menderita malaria di sana, kelaparan, anak-anak pun tidak sekolah. "Kita tidak tahu berapa lama akan tinggal di sini, tapi kami akan kembali segera setelah ada perdamaian," kata dia.

Gelombang pengungsi ke Gbangara ini menjadi cobaan untuk badan pengungsian PBB (UNHCR) dan Program Pangan Dunia. Sebelumnya, mereka telah menyediakan tenda pengungsian di Gbadolite untuk 13 ribu orang.

Namun, para pengungsi lebih memilih menjauh dari sana. Pasi melarikan diri ketika Seleka bersenjata menyerbu masuk rumah kakaknya di desa Gbada, sekitar 22 mil dari Gbangara.

Kakaknya ditembak mati dengan dua saudara dan sembilan orang lainnya. Pasi terluka di ujung kaki tapi berhasil melarikan diri dengan anak bayi dan lima saudara suaminya yang berusia antara tiga hingga delapan tahun.

Mereka menghabiskan waktu lima hari di hutan, bersembunyi dan hanya makan ubi jalar. Milisi mengikuti mereka hingga hutan. Pasi menceritakan, jika terlihat, mereka akan langsung dibunuh.

"Saya sangat takut berbicara. Setiap kali bayi saya mulai menangis, saya harus langsung menyusuinya agar tidak ketahuan," kata wanita 19 tahun tersebut. Pekan lalu ia mencoba menyebrang sungai namun mendengar suara tembakan hingga akhirnya mereka bersembunyi lagi.

Sehari kemudian, seorang nelayan mendengar ia berteriak minta tolong hingga akhirnya ia bisa berkano ke Gbangara. "Sekarang saya sudah tiba di sini, tapi tidak tahu apa yang akan saya lakukan selanjutnya," kata dia.

Juru bicara UNHCR di Kongo, Celine Schmitt mengatakan kondisi para pengungsi yang memilih pergi ke perbatasan memang menyedihkan. "Kami melihat mereka menyebrang dengan luka peluru, banyak anak sakit, kurang gizi. Kami melihat banyak kuburan kecil. Orang-orang terlihat sangat putus asa," kata dia.

Menurutnya, UNHCR telah mengirim tim untuk mendata dan memverifikasi jumlah pengungsi yang pada Desember diperkirakan mencapai 30 ribu orang. Schmitt mengatakan, pengungsi melarikan diri karena peningkatan konflik dan kekerasan di CAR.

Seleka dan Anti Balaka, lanjutnya menuduh penduduk memihak sehingga mereka menyerang desa-desa, membakar rumah, memperkosa dan membunuh. "Akhirnya mereka melintasi perbatasan dan mencari keselamatan di sini, di Kongo," kata Schmitt.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement