REPUBLIKA.CO.ID, BANDARLAMPUNG -- Disertasi tentang kebebasan pers Indonesia era Soeharto yang ditulis Herlambang Perdana Wiratraman, dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga yang tengah diundang menjadi Visiting Research Fellow di Nagoya University, akan didiskusikan di Universitas Kyoto Jepang pada 19 Februari.
Dalam penjelasan tertulis diterima di Bandarlampung, Selasa, Herlambang menyebutkan disertasinya itu berjudul "Press Freedom, Law, and Politics In Post Soeharto Indonesia".
Disertasi yang membahas perihal kebebasan pers di Indonesia ini rencananya akan dibahas oleh ahli sejarah, Dr. Kate McGregor dari Melbourne University dan dimoderatori oleh Jafar Suryomenggolo dari Center for Southeast Asian Studies (SEAS) Kyoto.
Diskusi ini menghadirkan riset dengan perspektif kajian sosio-legal atas masalah hukum dan kebebasan pers di Indonesia.
Ia menjelaskan, transisi politik pascarezim otoritarian Soeharto telah begitu dalam dipengaruhi oleh ketatapemerintahan model desentralisasi yang berimbas pada serangan-serangan lebih serius bagi kerja jurnalistik.
Pembunuhan tanpa proses hukum, kekerasan fisik, pemidanaan atas jurnalisme, dan serangan lainnya melalui proses peradilan formal dan bentuk lainnya, termasuk sistem impunitas, telah menunjukkan situasi yang susah bagi kerja jurnalistik di lapangan.
Kekerasan terhadap jurnalis di era desentralisasi di Indonesia telah dipengaruhi oleh kepentingan pertarungan politik ekonomi di tingkat lokal, dibandingkan pengaruh situasi dan kebijakan-kebijakan di tingkat nasional.
Jurnalis di tingkat lokal, lebih banyak berhadapan dengan kekuatan elit predatoris yang kerapkali tidak hanya menundukkan bekerjanya hukum atau penegakan hukum, melainkan pula menggunakan kekuatan premanisme yang terorganisir (privatised gangsterism) untuk menghambat bekerjanya profesionalisme jurnalistik.
Menurutnya, Undang Undang Pers, UU No. 40 Tahun 1999, memang memberikan perlindungan hukum.
Namun, katanya lagi, apa yang diatur dalam perundang-undangan dan kenyataannya menunjukkan kenyataan yang berbeda.
Penegakan hukum untuk melindungi jurnalis secara mudah dikesampingkan dan tak dihormati berkaitan dengan sistem hukum itu sendiri yang memberikan pengaruh secara signifikan.
"Peradilan dipakai alat untuk membangkrutkan media, membungkam oposisi, balas dendam dan meneror kerja jurnalistik," ujarnya.
Dalam proses penelitian, disebut istilah hukum baru dalam literatur hukum perdata, yakni ULAP, atau Unjustifiable Lawsuits Against Press. Fakta begitu banyak ditemukan bahwa media yang paling menjadi sasaran untuk ULAP (gugatan-gugatan yang tak dapat dibenarkan secara hukum bagi pers) atau kriminalisasi sesungguhnya telah berkaitan dengan kualitas, kredibilitas, dan profesionalitas suatu karya jurnalistik.
Dia menjelaskan lagi, di sisi lain, impunitas justru menguat, menjadi situasi dominan yang tak hanya disebabkan oleh faktor di luar media, namun juga faktor internal media itu sendiri.
Kekuatan pemilik media menguasai dan mempengaruhi ruang redaksi menjadi realitas politik media di Indonesia saat ini. Situasinya bertolak belakang, ketika jurnalis mendapat kekerasan atau ancaman hukuman.
Situasi bekerjanya politik kuasa media, mengakibatkan jurnalis kerap menghindari proses hukum peradilan, dan itu menjadi fenomena yang tak selalu berkaitan dengan ketidakpercayaannya terhadap sistem hukum, melainkan juga lebih memperlihatkan 'situasi keterpaksaan', katanya lagi.