REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Media sosial adalah cara yang semakin populer bagi pemerintah untuk mendeteksi wabah penyakit. Tapi kini, ada kekhawatiran tentang bagaimana data online bisa digunakan untuk tujuan kesehatan.
Kemampuan untuk melacak penyebaran penyakit pada platform digital seperti Twitter bisa membantu pemerintah merespons wabah dengan lebih cepat. Seperti baru-baru ini yang terlihat di Afrika Barat. Media sosial melacak penyebaran Ebola jauh sebelum laporan resmi pemerintah diterbitkan.
Tapi sekarang, ada beberapa pertanyaan seputar apakah penggalian data media sosial dan material lainnya - seperti catatan tentang obat-obatan yang dibeli, dan di mana lokasinya - melanggar privasi dan kepercayaan pengguna.
Dalam sebuah artikel yang diterbitkan di ‘PLOS Computational Biology’, para ahli merekomendasikan pembentukan dewan monitor deteksi penyakit digital (DDD) untuk memantau data apa yang digunakan. Termasuk untuk mengkompensasi orang-orang yang secara tak sengaja dirugikan melalui pencarian data.
Artikel ini menyoroti keseimbangan antara individu yang berkontribusi terhadap kepentingan orang banyak dan hak privasi individu.
Dr Suelette Dreyfus dari Departemen Sistem Komputer dan Informasi Melbourne University menyetujui bahwa teknologi melampaui undang-undang, dan pedoman baru kini diperlukan. "Anda harus berpikir saat Anda menghidupkan fungsi lokasi Anda di iPad, dalam hal data pribadi dan kesehatan, itu berpotensi membahayakan Anda ... seperti mengumumkan..ini adalah masalah kesehatan saya," katanya baru-baru ini.
Ia menerangkan, masyarakat berhak untuk melihat semua informasi tentang diri mereka sendiri yang digunakan organisasi.
Dr Suelette juga memperingatkan bahwa 'data yang besar' tak selalu benar. "Kami melihat saat Google Trends keliru mencoba untuk memprediksi wabah flu ... ternyata Google salah," sebutnya.
Saat ini, Badan Kesehatan PBB (WHO) sedang mengembangkan pedoman untuk praktik DDD yang beretika.