REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Kantor Hak Asasi Manusia PBB mengatakan mereka kecewa pada keputusan yang dikeluarkan Pengadilan Federal Malaysia dalam kasus sodomi pemimpin oposisi pemerintah Malaysia, Anwar Ibrahim. Federasi Internasional untuk Hak Asasi Manusia bahkan menyebutnya memalukan.
Mereka mengatakan hari jatuhnya putusan adalah hari hitam untuk keadilan. Jatuhnya hukuman lima tahun penjara pada Anwar diperkirakan akan mempersulit hubungan Malaysia dengan Amerika Serikat.
"Intinya bagi kita adalah hukuman dalam kasus ini seharusnya tidak menjadi tindak pidana," kata juru bicara Badan Hak Asasi Manusia PBB, Rupert Colville dalam pertemuan pers di Geneva. Gedung Putih juga mengecam keras putusan tersebut.
Harapan Perdana Menteri Najib Razak untuk diundang ke Gedung Putih pupus sudah. Pemerintah Presiden Barack Obama mempertimbangkan kembali untuk mengundang Najib dalam pertemuan di Washington.
Malaysia belum pernah mengunjungi Gedung Putih sejak 2004 silam. Sementara Obama menjadi presiden AS pertama yang mengunjungi Malaysia sejak 1966.
Meski demikian, Malaysia menjadi negara penting bagi AS untuk berbagai alasan. Salah satunya dalam bidang perdagangan. Malaysia memimpin 10 negara blok Asia Tenggara.
Pada Rabu (11/2), Polisi Malaysia menahan seorang kartunis karena mengunggah karikatur yang memuat gambar Najib sebagai hakim dan menjatuhkan hukuman pada Anwar. Polisi juga sedang menyelidiki dua anggota parlemen karena cuitan mereka di Twitter.
Kartunis tersebut yaitu Zulkiflee Anwar Alhaque yang dikenal sebagai Zunar. Ia juga mengunggah serangkaian opini terkait kasus Anwar. Sementara anggota parlemen yang sedang diselidiki yaitu dari kubu oposisi, Nga Kor Ming dan Rafizi Ramli.
Nga bercuit menyeru orang-orang untuk menentang rezim yang kejam. Sementara Rafizi mengunggah kartun berisi hakim yang mengenakan wig putih dengan tanda dolar di atasnya. Mereka dituduh melakukan penghasutan.
Tindakan polisi ini dikritik oleh kelompok hak asasi manusia, Human Right Watch. Mereka mengatakan penangkapan tersebut memalukan karena pemerintah Malaysia menganggap kritik damai tersebut sebagai tindak pidana.
"Jelas mereka merancangnya untuk mengintimidasi dan menanamkan rasa takut pada orang-orang di sosial media," kata wakil direktur Human Right Watch untuk Asia Phil Robertson. Lebih lanjut ia mengatakan penangkapan ini adalah kelanjutan erosi kebebasan berekspresi di Malaysia.
Pasca putusan, gelombang protes menyeruak memojokan pemerintah dan pengadilan. Anwar menjadi simbol paling vokal yang mengancam politik Najib.
Pada Rabu, putri kedua Anwar, Nurul Nuha Anwar meluncurkan kampanye "Pawai untuk Kebebasan". Gerakan ini didukung lima adiknya. Sementara kakak tertuanya, Nurul Izzah adalah anggota parlemen.
Nuha mengatakan keluarganya marah atas putusan pengadilan. "Tujuh belas tahun ini telah menjadi roller coaster emosi. Kami tidak tahu berapa lama perjuangan ini akan berlanjut, tapi kami akan bersama ayah hingga akhir," kata Nuha.
Mahkamah Tinggi Malaysia memutuskan Anwar bersalah dalam kasus sodomi terhadap Saiful Bukhari Azlan yang merupakan ajudan di kantor kampanyenya. Homoseksualitas adalah kejahatan di Malaysia dengan ganjaran hukuman maksimal 20 tahun penjara.
Anwar dilaporkan pada 2008, kemudian mengajukan banding. Ia dibebaskan pada 2012 karena kurang bukti. Pemerintah mengajukan banding pada kasusnya tahun 2013 hingga akhirnya putusan bersalah dikeluarkan kemarin, Selasa (10/2).
Pasca putusan, Inggris, Australia dan Uni Eropa pun menyatakan keprihatinan atas pemenjaraan Anwar. Gedung Putih mengatakan sidang terhadapnya menjadi perhatian serius tentang aturan hukum dan sistem peradilan di Malaysia.
Anwar sebelumnya pernah dipenjara selama enam tahun setelah digulingkan dari posisi wakil perdana menteri pada 1998. Ia dipenjara karena tuduhan menyalahgunakan kekuasaan dan tuduhan menyodomi mantan pembalap keluarganya.
Namun, Anwar dibebaskan pada 2004 karena pengadilan membatalkan putusan terkait sodomi. Sama seperti kasus saat ini, tuduhan juga dinilai bermotif politik karena berbarengan dengan perebutan kekuasaan dengan Perdana Menteri Mahathir Mohamad.