REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Sebagai akibat dari agresi di Azerbaijan hampir 40 ribu rakyatnya terbunuh. Populasi muslim di wilayah-wilayah yang diduduki Armenia berjumlah hampir satu juta jiwa dan mereka menjadi pengungsi. Begitu juga semua umat muslim yang tinggal di Armenia yang dibuang ke Azerbaijan sebagai pengungsi.
International Youth Society for Peace and Justice (IYSPJ) bersama The Habibie Center, Abdurrahman Wahid Center (AWC) dan Program Vokasi Universitas Indonesia dalam seminar dan dialog internasional bertajuk “Khojaly, Pelajaran untuk Masa Depan” menilai bahwa kejadian tersebut sebaiknya tidak pernah terulang di seluruh penjuru bumi.
Seminar yang berlangsung di Aula Terapung, Perpustakaan Pusat UI, Depok, Rabu (11/2) denfdan menghadirkan pembicara Direktur Eksekutif The Habibie Center, Rahimah Abdulrahim. Lalu Wakil Direktur Eksekutif, Abdurahman Wahid Center, Muhammad Sukron dan Investigator Komnas HAM, Elfan Suri, Jurnalis Jakarta Post, Veeramalia Anjaiah M.Phil dan Deputi Bidang Agama dan Pendidikan Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Prof. Dr. R Agus Sartono MBA serta juga dihadiri perwakilan dari Kedutaan Georgia, Azerbaijan, Sudan, dan Turki.
"Indonesia sendiri masih memiliki berbagai konflik sosial dengan berlatar belakang konflik suku, agama, ras, ekonomi dan politik. Isu keadilan hanya dapat terangkat bila adanya perdamaian. Para penggiat perdamaian dan keadilan di IYSPJ menilai justru ancaman terhadap perdamaian sebenarnya tidak melulu dipicu oleh konflik berdarah seperti yang terjadi di Azerbaijan," papar Rahimah Abdulrahim.
Menurut panitia dari IYSPJ, Caecilia A, memilih tema Khojaly, Pelajaran Masa Depan, mengingat berdasarkan data penelitian, pengeluaran dunia untuk penanganan konflik sangat besar. Sebagai ilustrasi di Amerika Serikat sendiri anggaran yang dihabiskan untuk menangani konflik lebih dari satu Milyar Dollar per tahun. Khojaly, wilayah yang terletak di Republik Azerbaijan, merupakan salah satu wilayah konflik karena menjadi korban agresi dari negara tetangganya, Armenia.
IYSPJ mengambil contoh pada saat Pilpres lalu, terjadi juga konflik antar warga dengan fenomena memutuskan silahturahmi di media sosial. Dalam salah satu penelitian di Amerika disebutkan bahwa kekerasan psikologis melalui dunia siber menjadi salah satu pendorong terjadinya konflik personal dan bahkan bunuh diri. Kekerasan siber (Cyber Bullying) telah menjadi alat teror perdamaian baru pada abad 21 ini. Mengapa? Karena kekerasan siber mendorong tingkat stress yang tinggi. Berdasarkan data WHO, stress yang mendorong hipertensi menjadi silent killer, yang telah menjadi wabah penyakit global.
"Hal inilah yang mendorong IYSPJ untuk menggandeng banyak pihak dalam upaya mendorong para pemuda dan masyarakat dimana pun untuk memulai program perdamaian dari lingkungan terkecil yaitu memulai dari dirinya sendiri, agar keadilan sosial yang luas dapat terwujud. Bila para generasi muda ke depan tidak mampu mengelola konflik interpersonal yang dimediasi oleh teknologi, peluang terjadinya konflik sosial yang besar seperti tragedi pembunuhan massal akan terus kita saksikan di masa datang," jelas Caecilia.
IYSPJ dan Vokasi UI, lanjut Caecilia berencana akan terus mengadvokasi gerakan sosial mencegah konflik dan menjaga perdamaian di berbagai level kehidupan publik baik itu kehidupan rumah tangga, sekolah, kantor hingga negara.