REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Keputusan Mesir membeli 24 jet tempur Rafale dari Prancis semakin membuktikan tekad mereka memperluas sumber senjata dan sekaligus mengurangi ketergantungan pada AS, kata pengamat, Sabtu (14/2).
Penjualan senilai 5,9 miliar dolar AS (lebih Rp 59 triliun ) tersebut adalah penjualan pertama jet Rafale bagi Prancis ke negara asing dan kontrak penjualannya siap ditandatangi pada Senin (16/2) mendatang, di Kairo.
Tapi, kelompok Amnesti Internasional menentang penjualan jet tempur serta sebuah kapal frigat itu karena pemerintah Mesir dianggap telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia.
AS, sahabat lama dan strategi bagi Mesir yan gtelah memberikan bantuan 1,5 miliar setiap tahun, termasuk 1,3 miliar bantuan militer, menyatakan bahwa perjanjian Mesir dengan Perancis itu tidak menimbulkan dampak bagi mereka.
"Mesir adalah negara berdaulat. Kami juga mempunyai kerjasana keamanan, jadi pembelian jet tersebut tidak mengkhawatirkan kami," kata Jen Psaki, jurubicara Departemen Luar Negeri AS.
Tapi hubungan Mesir-AS terganggu sejak pihak militer menjungkalkan pemerintahan Islam pimpinan Muhamed Morsi pada Juli 2013 lalu dan pemerintahan yang baru dituduh melancarkan serangan brutal untuk memadamkan protes.
Morsi, pemimpin pertama yang terpilih dalam pemilu secara bebas di Mesir, dipaksa turun oleh pemimpin militer yang sekarang menjadi persiden, yaitu Abdel Fattah al-Sisi. Dalam satu tahun usia pemerintahan Al-Sisi, Mesir selalu bergejolak dan dilanda aksi demo massal.
Sisi kemudian terpilih sebagai presiden dalam pemilu Mei 2014 lalu dengan perolehan 96,91 persen suara.
Ribuan orang dipenjara dan ratusan lainnya dihukum mati, sementara partai Ikhwanul Muslimin (Muslim Brotherhood) pimpinan Morsi dicap sebagai organisasi teroris dan dibubarkan.
Represi dengan cara brutal terhadap pengikut Morsi membuat Washington membekukan sebagian bantuan ke Kairo sejak Oktober 2013 dan meminta pemerintahan Mesir yang baru untuk melakukan reformasi demokrasi.
"Kontrak dengan Prancis merupakan sebuah pesan secara implisit bagi AS bahwa Mesir tidak lagi tergantung sepenuhnya dalam pasukan senjata dari AS," kata pensiunan Jendral Mesir Mohammed Mujahid al-Zayyat.
"Mesir tidak mau lagi 'diperas' dalam berhubungan dengan AS," kata Zayyat, pengamat dari Pusat Studi Timur Tengah yang berkedudukan di Kairo. Menurut Zayyat, pejabat AS mempunyai pandangan sendiri tentang bagaimana angkatan bersenjata Mesir mesti dibangun dan menolak keyakinan bahwa Israel adalah musuh utama.
Mesir menandatangani perjanjian damai dengan Israel pada 1979, tapi kedua negara tidak pernah berkembang dan tetap tegang akibat politik Israel terhadap Palestina. Washington kemudian mencoba menyeimbangkan kerjasama pertahanan ditengah kecaman dari kelompok hak azasi manusia atas pelanggaran yang dilakukan oleh Pemerintah Mesir.
Tidak lama kemudian, AS mengirim pesawat helikopter tempur yang akan digunakan untuk membasmi aksi teroris, tapi pada saat yang bersamaan juga mencela kekerasan terhadap pendukung Sisi.
Ahmed Abdel Halim, pengamat militer yang juga mantan tentara Mesir mengatakan bahwa Mesir telah "disandera" oleh Washington dengan alasan catatan hak azasi manusia, sehingga perlu mencari sumber senjata dari negara lain.
Menurut Abdel Halim yang juga mantan Ketua Komisi Keamanan Nasional di Senat Mesir, negaranya akan tetap mengimpor senjata dari AS, termasuk juga dan Perancis dan bahkan mungkin juga Tiongkok.
"Rusia, bisa menjadi negara pemasok lainnya," kata Abdel Halim.
Presiden Rusia Vladimir Putin, yang sebenarnya bukan pendukung Sisi, berkunjung ke Kairo minggu ini.
Kedua kepala negara setuju untuk membangun pembangkit listrik tenaga nuklir pertama di Mesir.
Pada tahun lalu, Sisi berkunjung ke Rusia sebanyak dua kali untuk membicarakan pembelian senjata.
Mesir saat ini sedang sibuk memerangi kelompok Islam militan di Semenanjung Sinai dan juga khawatir dengan kekacauan yang terjadi di negara tetangga Libya.