Jumat 20 Feb 2015 10:40 WIB

Indonesia Dinilai tak Perlu Takut Ancaman Australia

Seorang polisi menjaga dua warga Australia terpidana mati dalam kasus penyelundupan 8,2kg heroin Andrew Chan (tengah) dan Myuran Sukumaran (kiri) saat akan menghadiri sidang peninjauan kembali (PK) di Pengadilan Negeri Denpasar, Bali, dalam foto arsip bert
Foto: Seorang polisi menjaga dua warga Australia terpidana mati dalam
Seorang polisi menjaga dua warga Australia terpidana mati dalam kasus penyelundupan 8,2kg heroin Andrew Chan (tengah) dan Myuran Sukumaran (kiri) saat akan menghadiri sidang peninjauan kembali (PK) di Pengadilan Negeri Denpasar, Bali, dalam foto arsip bert

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum internasional dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) Dr Atip Latipulhayat menegaskan, Pemerintah Indonesia harus kukuh dan tidak perlu takut terhadap ancaman Australia terkait rencana eksekusi terpidana mati dua warga negara itu.

"Media di Indonesia pun harus mendukung penuh kebijakan yang diambil Pemerintah Indonesia sebagaimana media di Australia mendukung dan 'mengompori' Pemerintah Australia agar mengancam kedaulatan hukum Indonesia," katanya dalam pernyataan yang disampaikan di Jakarta, Jumat (20/2).

Dia mengakui, rencana pelaksanaan eksekusi terpidana mati menuai kecaman dunia, khususnya dari Australia karena ada dua warganya, Andre Chan dan Myuran Sukumaran, yang akan dieksekusi. Pemerintahan Indonesia diminta untuk tegas dan tidak takut atas ancaman Australia tersebut.

Atip menjelaskan beberapa alasan. Pertama, hukuman mati diakui eksplisit dalam sistem hukum negara Indonesia secara selektif, termasuk di dalamnya kejahatan yang berkaitan dengan narkoba. Karena itu, pemerintah asing, dalam hal ini Australia harus menghormati kedaulatan hukum negara Indonesia sebagai negara yang berdaulat yang tidak boleh diintervensi.

"Harus dibedakan, ketika Australia memohon untuk tidak dieksekusi, itu adalah hak mereka. Namun ketika Indonesia yang memiliki kedaulatan hukum tidak menerimanya, maka Australia harusnya jangan melakukan tindakan-tindakan yang intervensif dan menunjukkan ketidakhormatan terhadap kedaulatan hukum Indonesia," kata Atip yang juga Ketua Departemen Hukum Internasional FH Unpad.

Alasan kedua, menurut Atip, ada gagal paham dari pihak-pihak yang mengadvokasi penghapusan hukuman mati yang melihatnya dari sisi pelaku namun tidak memperhatikan kedudukan korban yang mengalami kerugian yang paling besar.

"Betul itu adalah hak hidup, namun bagaimana kalau ia telah mengambil hak hidup orang lain," kata Atip yang alumni program doktor di Monash University Australia.

Karena itu, kata dia, harusnya yang diadvokasi bukan penghapusan hukuman mati, namun perbaikan kualitas hukum, mulai dari pembuktian sampai dengan putusan hakim.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement