REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Menarik mengikuti kisah sejumlah orang Cina dan Filipina yang telah bermukim di Gaza, terlebih dalam perayaan Tahun Baru Imlek.
Seperti yang dialami Zhang Xiaobu. Perempuan asal Cina ini memilih mengikuti jejak suaminya yang merupakan warga Palestina. Keduanya bertemu saat suaminya berkuliah di Cina dan memutuskan tinggal di Gaza sejak 2008 lalu.
Seperti dilaporkan Channel News Asia, tercatat ada puluhan perempuan asal Cina dan Filipina yang tinggal di Gaza bersama suami mereka yang merupakan warga Palestina.
Sebagian besar pasangan tersebut dikatakan bertemu saat pemuda Palestina belajar di sejumlah perguruan tinggi di Asia.
Di tengah ketidakpastian kondisi di Gaza dalam blokade Israel, para pasangan tersebut terus bertahan dan membangun kehidupan bersama anak-anak mereka.
Zhang Xiaobu yang sekarang dikenal dengan nama Dina al-Haj bersama suaminya memilih untuk membuka toko sepatu, tas, dan aksesoris yang ia datangkan dari Cina untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari keluarganya.
Untuk mengobati kerinduan akan tanah airnya, Al-Haj biasanya memutar lagu-lagu Cina saat bekerja. Meskipun rindu merayakan Imlek bersama keluarganya di Cina, ia mengaku pasrah dan tidak dapat berbuat apa-apa mengingat ketatnya perbatasan yang dijaga tentara Israel.
"Aku benar-benar merindukan keluargaku. Aku tidak bisa pulang untuk merayakan Tahun Baru Imlek dan bersatu kembali dengan mereka. Aku rindu makanan rumah yang dimasak Ibuku," ujarnya.
Hal serupa dialami Ninita Hammoudeh, perempuan Filipina yang hidup di Gaza dengan suami dan dua dari empat anaknya. Sudah berada di Gaza sejak 23 tahun silam, Hammoudeh menganggap Gaza sudah seperti rumah kedua baginya. Meski demikian, ia mengaku rindu akan tanah airnya.
"Di Filipina, ada kebebasan. Aku di sini karena suami," ungkapnya.
Sahabatnya, Rubi Khattab, yang juga dari Filipina, mengatakan hidup di Gaza adalah sebuah tantangan. Khattab yang sudah tinggal di Gaza selama 15 tahun terakhir mengaku ketakutan yang dirasakan warga Gaza atas pendudukan Israel.
"Semua orang di sini ditekan, tidak ada kebebasan, tidak ada yang alami disini, tidak ada gunung maupun pohon," ujar Khattab.