REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Wachidah Handasah
Diakui Fathi, penamaan kampanye #JeSuisNous tak melalui jalan mudah. Fathi dan rekan-rekannya cukup lama berpikir sebelum memutuskan nama itu. Pemilihan nama itu, menurut Fathi, cukup rumit tapi akhirnya banyak yang suka.
“Pada dasarnya, kami ingin kampanye ini bisa membuat masyarakat Muslim merasa nyaman dan percaya diri dengan identitas Prancis mereka, juga menjembatani perbedaan yang ada diantara berbagai unsur dalam masyarakat Prancis,” kata Fathi.
Prancis adalah rumah bagi sekitar enam juta umat Islam. Jumlah ini menjadikan Prancis sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di Eropa Barat. Dibanding umat Islam di negara Barat lainnya, misalnya Amerika Serikat (AS), Muslim Prancis memiliki tingkat keragaman yang tinggi.
“Kebanyakan masyarakat Muslim di negeri ini adalah imigran yang memiliki pola migrasi berbeda-beda, namun sebagian besar karena dekolonisasi. Hal ini berbeda dengan latar belakang Muslim AS, misalnya,” kata Rabah Ghezali, guru besar ekonomi yang ikut memotori kampanye #JeSuisNous.
“Karena itu, institusi-institusi Muslim di Prancis sering kali tidak mampu menjadi wakil seperti yang kami inginkan,” kata dia.
Hosnis Maati, seorang pengacara hak asasi manusia (HAM) yang juga ikut menggerakkan kampanye ini berharap, kampanye ini akan mengubah pandangan sinis terhadap Muslim Prancis. “Karena itu, kami ingin aksi ini tidak hanya terbatas di internet, juga di kehidupan nyata.”
Sejatinya, ini bukanlah kampanye pertama dari umat Islam di Prancis. Sebelumnya, kaum Muslimin di negeri itu telah beberapa kali berkampanye dengan menggunakan sejumlah tagar, seperti #NotInMyName #MuslimApologies, #WhoIsMuhammed, dan #JeSuiSAhmed.
Aneka kampanye itu memiliki tujuan yang sama, yakni meluruskan kesalahpahaman tentang Islam, khususnya prasangka yang berkembang di Barat bahwa Islam adalah agama penyokong terorisme.