REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Pada 17 Februri lalu, menandai empat tahun revolusi di Libya. Sebuah peristiwa besar yang menyebabkan perang saudara, intervensi NATO dan penggulingan rezim Moammar Gadhafi.
Namun, warga Libya nampaknya harus membayar mahal atas revolusi yang mereka gaungkan. Empat tahun berlalu, ribuan warga Libya masih banyak yang mengungsi dari rumah mereka. Kini mereka tinggal dengan bantuan dari badan amal di kamp-kamp darurat, yang tersebar di negara kaya minyak tersebut.
Dilansir dari Al-Monitor, pada hari-hari terakhir perang 2011 milisi menghancurkan hampir seluruh rumah dan bisnis di seluruh kota-kota di Libya. Ribuan keluarga di selatan, timur dan di Tripoli masih tinggal jauh dari rumah mereka. Sejak musim panas lalu, Benghazi bahkan hampir seperti kota hantu.
Dalam istilah ekonomi, situasi saat ini sangat suram. Semua proyek infrastruktur yang berlangsung saat perang meletus telah ditangguhkan bahkan dijarah, padahal mereka sudah berada di tahap akhir. Investor asing yang berbondong-bondog ke Libya sebelum 2011 telah meninggalkan negara tersebut tanpa prosek kembali dalam waktu dekat.
Libya menghadapi kebangkrutan. Konflik telah membuat militan melakukan pemboman terhadap sejumlah pipa di ladang minyak. Seperti dilansir UPI.com, ladang minyak Sarir yang merupakan ladang minyak terbesar Libya tak luput dari pemboman. Padahal Sarir memproduksi sekitar 185 ribu barel minyak perhari.
Sebelum konflik pecah di Libya, negara ini berhasil memproduksi minyak sekitar 1,2 juta barel perhari. Libya menurut laporan OPEC, mengalami penurunan produksi minyak sebesar 27 persen dari bulan Desember.
Duta Besar Amerika Serikat untuk Libya Deborah K Jones menulis di Libya Herald, negara ini mungkin akan benar-benar bangkrut jika kilang minyaknya terus terjebak dalam baku tembak. Padahal sebelum 2011, Libya pernah menjadi pemasok minyak utama di dunia.