REPUBLIKA.CO.ID, KATHMANDU -- Enam dekade sudah semenjak penaklukan pertama puncak tertinggi dunia, Gunung Everest oleh Sir Edmund Hillary dan Sherpa Tenzing Norgay. Prestasi tersebut tak pelak membuat banyak pendaki di berbagai belahan dunia ingin menginjakkan kaki di ketinggian 8.850 meter tersebut.
Sayangnya, hal itu membuat Gunung Everest menjadi kotor dan mengeluarkan aroma tak sedap. Sebab, tidak sedikit dari pendaki mengabaikan kebersihan gunung tersebut.
Hal itu diperparah dengan tidak tersedianya toilet. Pendaki harus berjongkok di tempat terbuka atau di balik batu untuk sekedar membuang hajat.
Ketua Asosiasi Pendakian Gunung Nepal, Ang Tshering Sherpa mengatakan, kotoran manusia merupakan masalah yang lebih besar daripada botol oksigen, tenda robek, tangga rusak dan kaleng atau bungkus tertinggal.
"Dibuang di lubang es, limbah (kotoran) manusia tetap berada di bawah salju," ujarnya, Rabu (4/3).
Terlebih, kata dia ketika salju meleleh, limbah itu akan kembali menyeruak ke permukaan. Menurutnya, cukup sulit untuk sekadar memperkirakan berapa banyak kotoran manusia yang berada di bawah salju.
Kotoran manusia di gunung tersebut menumpuk selama puluhan tahun dan menimbulkan bau tak sedap. Hal itu sekaligus membahayakan kesehatan masyarakat yang bergantung pada air dan sungai dari gunung tersebut.
Untuk itu, Nepal dengan tegas menindak para pendaki gunung. Merujuk pada aturan 2014, pendaki yang tidak membawa kembali 8 kilogram sampah dan kotoran manusia akan terkena denda empat ribu dolar AS. Aturan tersebut akan diterapkan dengan ketat tahun ini.
Pada 2012, seniman Nepal sempat membuat karya seni indah dengan memahat 1,7 ton sampah dari Gunung Everest. Hal itu dilakukan sebagai upaya mengkampanyekan kesadaran menjaga kelestarian puncak gunung.