Kamis 05 Mar 2015 16:24 WIB

Sikapi Perbedaan Mazhab, Ulama Perlu Berpikir Radikal

Rep: C71/ Red: Erik Purnama Putra
Guru Besar Hukum Islam Institut Studi Islam McGill, Montreal, Kanada, Ahmed Fekry Ibrahim.
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Guru Besar Hukum Islam Institut Studi Islam McGill, Montreal, Kanada, Ahmed Fekry Ibrahim.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Hukum Islam Institut Studi Islam McGill, Montreal, Kanada, Ahmed Fekry Ibrahim menyampaikan, ulama Indonesia harus berpikir secara lebih radikal dalam menyikapi kekakuan penerapan mazhab. Ibrahim mengajukan eklektisisme sebagai upaya untuk meminimalisasi ketegangan terutama jika terjadi perbedaan penyikapan mazhab.

"Eklektisisme yaitu mengambil yang terbaik dari semua sistem mazhab sunni yaitu Syafi'I, Hanafi, Hanbali, dan Maliki," ujar Ibrahim dalam konferensi bertajuk 'Agama, Tradisi, Hak, dan Status Perempuan di Indonesia' pada Kamis (5/3).  

Ibrahim menyampaikan, Mesir, Suriah, dan bahkan Indonesia sebenarnya sudah pernah menerapkan hal tersebut. Eklektisisme, kata Ibrahim, dapat mempermudah menyelesaikan sejumlah isu tertentu dalam perbedaan penggunaan mazhab.

Menurut Ibrahim, dalam penelitian yang baru saja ia rampungkan, sejak ribuan abad yang lalu sudah muncul diskusi tentang legalitas penggunaan mazhab yang berbeda. Sebelum abad ke-13 atau yang disebutnya sebagai masa Islam pramodern kerap terjadi pertentangan antara pihak yang setuju melawan sebaliknya. "Namun, setelah abad ke-13 para pembuat hukum mulai bisa menerima," ujar Ibrahim.

DIa menyampaikan, keberagaman adalah hal yang positif. Ia pun menyarankan untuk menghadapi pluralisme dengan pilihan yg disesuaikan dengan keadaan zaman.  Ada pandangan yang membuat keberagaman dalam Islam justru terhambat dengan membangun hirarki dan mazhab dominan menjadi yang paling tinggi.

"Meski perbedaan itu positif, saya pikir tidak perlu juga membesar besarkan perbedaan karena ada banyak opini dalam isu-isu keislaman. Dalam hukum Islam, tak ada kekuatan yang saling lebih kuat," ujar Ibrahim.

"Semua harus lihat sejarah dan konteksnya untuk mengambil interpretasi yang ada."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement