Jumat 06 Mar 2015 05:34 WIB
Eksekusi Mati Gembong Narkoba

Sikap Hipokrit Pemerintah Australia

Perdana Menteri Australia, Tony Abbott.
Foto: AP
Perdana Menteri Australia, Tony Abbott.

Oleh: Eko Widiyatno

Wartawan Republika

Sudah berulang kali Indonesia mengalah terhadap Australia. Terutama sejak Indonesia dianggap sebagai negara lemah pasca krisis ekonomi yang terjadi tahun 1998 silam. Sejak itu, Australia yang mengaku menjadi negara sahabat Indonesia, justru meletakkan Indonesia sebagai negara kacung dalam diplomasi luar negerinya. Indonesia harus menuruti apa pun kemauan negara tersebut.

Dalam masalah Timor-timur yang kemudian memerdekakan diri menjadi negara bernama Timor Leste, seluruh rakyat Indonesia tidak akan bisa melupakan begitu saja bagaimana peran Australia dalam kemerdekaan negara tersebut.

Persoalannya bukan pada pernyataan bahwa setiap bangsa memiliki hak untuk merdeka. Hal ini juga sudah ditunjukkan Habibie sebagai presiden RI saat itu, yang bersedia dengan sikap terbuka menerima permintaan John Howard agar dilakukan referandum bagi masyarakat Timor Timur.

Namun yang terjadi kemudian, semua orang bisa melihat bagaimana keseluruhan proses referandum telah dimanipulasi sedemikian rupa agar hasil akhirnya mengarah pada kemerdekaan Timor Timur. Seperti yang terjadi dalam rencana eksekusi duo terpidana mati kasus Bali Nine kali ini, pemerintah Australia juga menggalang dukungan internasional atas kepentingan negaranya.

Tanpa perlu digambarkan secara detil, kita juga masih ingat betul bagaimana TNI pada masa itu seolah-olah diletakkan pada posisi tanpa harga diri di hadapan militer Australia. Berbagai insiden yang terjadi pada masa itu menunjukkan hal tersebut.

Padahal pada ujung-ujungnya, kepentingan Australia atas kemerdekaan Timor Timur adalah masalah kandungan minyak di celah Timor. Ini terbukti begitu Timor-timur merdeka, pemerintah Australia langsung menekan pemerintahan Timor Leste untuk menandatangani pembagian wilayah Timor Gap. Beberapa tahun setelah itu, Timor Leste akhirnya menyadari hal itu dan mengajukan keberataan atas perjanjian tersebut pada lembaga arbritrase internasional.

Setelah masalah Timor Timur itu, masih cukup banyak sikap pemerintah Australia yang menempatkan Indonesia sebagai negara 'kacung'. Yang juga menonjol adalah kasus eksekusi terpidana teroris kasus Bom Bali.

Lepas dari perdebatan pantas tidaknya tiga terpidana kasus Bom Bali dihukum mati, namun pelaksanaan eksekusi pada November 2009 tersebut, juga tidak bisa dilepaskan dari tekanan dilomasi pemerintah Australia. Mereka yang mendesak agar trio pelaku bom Bali Imam Samudra, Muchlas dan Amrozi segera dieksekusi.

Pada saat pelaksanaan eksekusi di lembah Nirbaya Nusakambangan, terlihat betul bagaimana jurnalis Australia begitu dominan menguasai medan. Di tengah pelaksanaan eksekusi yang serba gelap, jurnalis Australia yang saat itu juga banyak berkumpul di dermaga Wijaya Pura Cilacap, bisa mengetahui lebih dulu bahwa eksekusi telah dilakukan beberapa menit setelah eksekusi dilakukan.

Sebagai gambaran informasi, pada saat itu wartawan Indonesia yang juga melakukan peliputan di dermaga Wijayapura, dihadapkan pada persoalan komunikasi yang terputus. Perangkat jammers untuk mengacak sinyal, dipancarkan di beberapa titik sekitar dermaga sehingga komunikasi betul-betul terputus.

Jangan bayangkan kondisi saat itu sama dengan sekarang. Meski sudah ada media sosial seperti Facebook dan twitter, tapi media sosial semacam itu masih belum familiar di Indonesia. Provider seluler yang ada juga, baru tergantung pada provider besar yang jangkauannya saat itu juga masih belum seluas seperti sekarang.

Namun dalam kegelapan informasi yang dihadapi wartawan Indonesia mengenai kapan eksekusi akan dilakukan, jurnalis Australia bisa tahu bahwa eksekusi sudah dilakukan hanya beberapa saat setelah eksekusi dilaksanakan. Padahal Jaksa Agung saat itu belum mengumumkan bahwa eksekusi sudah dilaksanakan. Karena itu tidak heran bila di kalangan wartawan Indonesia beredar rumor bahwa pelaksanaan eksekusi saat itu dibiayai pemerintah Australia.

Dari kejadian masalah Timor Timur dan juga kejadian eksekusi terpidana kasus Bom Bali tersebut, sangat terlihat bahwa pemerintah Australia sesungguhnya telah bersikap hipokrit. Mereka mendesak eksekusi terhadap dua warga negara dibatalkan, sementara dalam eksekusi terhadap pelaku Bom Bali mereka mendesak agar segera dilaksanakan.

Meski pun dalam peristiwa Bom Bali tersebut memang banyak korban yang berasal dari Australia, namun dalam rencana eksekusi dua anggota kasus Bali Nine, sangat terlihat bahwa dalam klausul hukuman mati sebagai bagian sistem hukum suatu negara, politisi Australia telah bersikap ambigu.

Mereka menyatakan hukuman mati tidak tepat diterapkan di satu negara demokrasi, hanya pada saat kepentingan mereka terganggu. Sementara pada kasus yang merugikan kepentingan mereka, para politisi Australia tersebut mendukung hukuman mati. Jadi sangat aneh kalau mereka menuding pemerintah Indonesia hipokrit karena meminta keringanan bagi warga-negaranya yang dijatuhi hukuman mati di luar negeri, namun menjatuhkan hukuman mati pada pelanggar hukum berat di negaranya. Kenyataannya, mereka juga bersikap demikian.

Bahkan ada hal konyol yang terakhir ditawarkan pemerintah Australia untuk menghentikan eksekusi dua terpidana kasus Bali Nine ini. Menlu Julie Bishop menawarkan pertukaran terpidana Anrews Chan dan Myuran Sukumaran dengan tiga napi yang kini ditahan di Australia karena kasus narkoba.

Persoalan dalam masalah tawaran prisoner exchange tersebut, bukan hanya karena tidak ada aturan hukum internasional yang mengatur soal pertukaran narapidana. Namun kesannya, pemerintah Australia seperti masih saja menganggap Indonesia sebagai bangsa yang bodoh. Dengan pertukaran tersebut, mereka secara tidak langsung menawarkan pemerintah dipersilakan mengekskusi warganya sendiri yang melakukan tindakan melanggar hukum di luar negeri, sementara pemerintah Australia kemudian mengenakan tahanan bersyarat bagi dua terpidana yang melanggar hukum di Indonesia.

Selain kasus-kasus tersebut, sebenarnya masih banyak kasus yang bisa menggambarkan bagaimana pemerintah Australia memandang Indonesia sebagai negara inferior dengan segala kebodohannya. Antara lain, juga dalam kasus imigran gelap, dalam masalah impor sapi dari Australia, dan juga dalam hal bantuan bencana tsunami yang diberikan pemerintah Australia bagi masyarakat Aceh.

Kesimpulannnya, sudah cukup banyak Indonesia mengalah terhadap negara yang mengaku sebagai sahabat Indonesia ini. Sudah saatnya bangsa dan pemerintah Indonesia berani menegakkan kedaulatannya untuk berdiri sejajar dengan dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement