REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha meminta rakyat Thailand menjadi mata dan telinga pasukan keamanan dalam upaya meningkatkan kepercayaan dunia di negara tersebut setelah terjadi ledakan kedua dalam sebulan di Bangkok.
Polisi menahan tiga orang terkait ledakan granat pada Sabtu malam di luar Pengadilan Kriminal Ratchadaphisek itu. Tidak ada korban dalam kejadian tersebut.
"Kami minta masyarakat menjadi mata dan telinga bagi pihak berwenang karena keamanan harus diutamakan. Kita harus membangun kembali kepercayaan asing. Saya tidak akan tunduk pada orang jahat," kata Prayuth kepada wartawan, Senin (9/3).
Thailand masih berada di bawah darurat militer. Pemimpin militer mengatakan mereka tidak berencana mencabut status darurat militer tersebut. Aturan itu membuat pelancong mengurungkan niatnya berkunjung karena mereka tidak bisa membeli asuransi perjalanan untuk negara-negara yang sedang berada dalam darurat militer.
Thailand berada dalam darurat militer sejak militer merebut kekuasaan pada 22 Mei 2014. Kudeta dilakukan untuk mengakhiri unjuk rasa yang telah berlangsung selama berbulan-bulan dan kadangkala berujung kekerasan.
Kepala Polisi Thailand Jendral Somyot Poompanmuang mengatakan oknum di belakang serangan Sabtu pekan lalu berasal dari latar belakang politik sama seperti tersangka pelaku dua peledakan di luar pusat perbelanjaan Bangkok Siam Paragon pada Februari.
Salah seorang tersangka Mahahin Khunthong mengatakan kepada wartawan, Ahad (8/3), ia dan seorang pria lain dibayar 20 ribu baht (lebih dari enam juta rupiah) untuk melakukan serangan. Mereka juga merencanakan serangan lain untuk memicu campur tangan PBB.
"Salah seorang dari kami mengendarai motor dan seorang lagi melemparkan granat. Ada rencana untuk melancarkan serangan di lokasi-lokasi lain sehingga PBB mau campur tangan di Thailand. Saya tidak ingin melakukan ini tapi demi membiayai keluarga saya ditawari jadi supir," kata Mahahin.