REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Presiden Indonesia Joko Widodo mengatakan klaim Cina atas sebagian besar Laut Cina Selatan tak memiliki dasar hukum dalam hukum internasional, Senin (23/3). Ia mengatakannya saat mengunjungi Jepang dalam helatan kenegaraan.
"Nine dash line yang Cina sebut sebagai batas maritim mereka tidak memiliki basis hukum di Undang-Undang internasional manapun," kata Jokowi dalam wawancara dengan koran Jepang, Yomiuri yang dipublikasikan Senin dan dilansir Reuters.
Garis putus-putus yang dijadikan tolak ukur Cina menandai wilayahnya mencapai luas 3,5 juta km persegi. Jumlah tersebut mencapai 90 persen wilayah Laut Cina Selatan.
Penasihat Kebijakan Luar Negeri Joko, Rizal Sukma mengatakan presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu tidak berbicara tentang keseluruhan klaim Cina. Jokowi hanya membicarakan batas nine dash yang membentang jauh ke dalam jantung maritim Asia Tenggara.
Sejak mulai menjabat pada Oktober 2014, Jokowi mengambil bagian dalam sengketa Laut Cina Selatan. Jakarta ingin menjadi mediator yang jujur dalam salah satu masalah sengketa di wilayah ASEAN ini.
"Kami mendukung Code of Conduct tentang Laut Cina selatan, termasuk dialog antara Jepang dan Cina, Cina dan ASEAN,"
"tambah Jokowi. Rizal juga mengatakan Indonesia telah mengirim sikap resmi terhadap masalah sengketa pada 2009.
Dikatakan lebih lanjut, Indonesia mengirim sikap resmi terhadap masalah ini ke Komisi PBB tentang landasan batas kontinen, bahwa garis itu tidak memiliki dasar hukum internasional. Hingga saat ini, tidak ada yang berubah.
Klaim Cina bersinggungan dengan klaim negara lain, diantaranya Brunei, Malaysia, Filipina, Vietnam dan Taiwan. Wilayah-wilayah tersebut disinyalir kaya akan minyak dan gas.
Wilayah perairan ini juga menjadi jalur penting perdagangan. Sekitar 5 triliun dolar AS 'berlalu lalang' di sana per tahunnya. Sengketa area panas ini dikhawatirkan membawa konflik berkelanjutan antar negara tetangga tersebut.
Kementerian Luar Negeri Cina menjawab pernyataan Jokowi. Mereka mengulangi bahwa garis standar tentang kedaulatan Cina dan perselisihan ini harus diselesaikan antara negara-negara yang terlibat secara langsung.
"Inti dari sengketa Laut Cina Selatan adalah karena pendudukan ilegal beberapa negara di beberapa pulau di Laut Cina Selatan dan perairan sekitarnya. Ini telah menyebabkan klaim maritim tumpang tindih," kata juru bicara kemenlu Cina Hong Lei pada briefing harian.
Batas yang tidak jelas ini pertama kali secara resmi diterbitkan pada peta pemerintah Nasionalis China pada tahun 1947. Batas yang sama kemudian dimasukkan lagi dalam peta selanjutnya yang dikeluarkan di bawah pemerintahan Komunis.