REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Harga minyak dunia melonjak pada Jumat (27/3) pagi WIB, setelah jet-jet tempur Arab Saudi menyerang sasaran pemberontak di Yaman, memicu kekhawatiran meningkatnya krisis di negara itu bisa mengancam produsen minyak mentah di Timur Tengah.
Patokan AS, minyak mentah light sweet atau West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Mei, melonjak 2,22 dolar AS, atau 4,5 persen, menjadi ditutup pada 51,43 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange, merupakan tingkat tertinggi dalam lebih dari tiga pekan.
Di London, minyak mentah Brent North Sea untuk pengiriman Mei, patokan global, melonjak 2,71 dolar AS menjadi menetap di 59,19 dolar AS per barel. Kontrak mulai menguat pada Rabu menyusul berita bahwa Presiden Yaman Abedrabbo Mansour Hadi dilarikan ke "tempat yang aman" setelah sebuah pesawat tempur menyerang kompleks kepresidenan.
Yaman berbatasan langsung dengan produsen minyak utama Arab Saudi, yang pada Rabu meluncurkan serangan terhadap pemberontak Huthi dalam upaya membantu menyelamatkan pemimpin Yaman yang diperangi.
Yaman telah dicengkeram oleh kekacauan yang terus meningkat sejak pemberontak Syiah melancarkan perebutan kekuasaan di Sanaa pada Februari. "Ketegangan geopolitik di Yaman mendorong harga minyak lebih tinggi," Daniel Ang, seorang analis investasi Phillip Futures, mengatakan kepada AFP.
"Yaman bukan produsen besar tetapi merupakan pusat perdagangan di wilayah tersebut, sehingga ketegangan di sana dapat menyebabkan gangguan dalam aktivitas perdagangan produk-produk energi," kata analis yang berbasis di Singapura itu.
Gejolak di Yaman telah dibayangi dampak kenaikan pasokan minyak mentah AS, yang meningkat 8,2 juta barel dalam pekan yang berakhir 20 Maret, menambah pasokan global yang berlimpah, kata para analis.
Harga minyak dunia telah jatuh sekitar 60 persen dalam enam bulan hingga awal Februari, karena produksi AS yang kuat memperburuk produksi tinggi oleh kartel OPEC.
"Kelebihan pasokan di pasar minyak menjadi semakin tinggi dalam beberapa bulan terakhir, mengabaikan risiko geopolitik yang lebih besar," kata analis Csommerzbank dalam sebuah catatan untuk kliennya.
"Namun demikian, ini tiba-tiba datang kembali ke dalam fokus yang tajam, menyusul serangan udara militer yang dilakukan oleh 10 negara Teluk dipimpin Saudi terhadap pemberontak Huthi di Yaman.