REPUBLIKA.CO.ID, MESIR — Kejaksaan Agung Mesir menetapkan 18 anggota Ikhwanul Muslimin (IM), termasuk pemimpin kelompok itu dan wakilnya, sebagai teroris. Itu sebagai konsekuensi pelaksanaan pertama undang-undang antiteror yang disahkan awal tahun ini, demikian laporan Al Arabiya.
Kepala Jaksa Hisham Barakat mengatakan penetapan tersebut juga mengikuti keputusan pengadilan Februari lalu. Putusan pengadilan menghukum pemimpin Ikhwanul Mohammed Badie, wakilnya Khairat el-Shater, kepala kelompok partai politik Saad el-Katatni, dan lain-lain mendalangi kekerasan pada tahun 2013 yang menewaskan 11 orang dan melukai lebih dari 90 di luar kantor mereka.
Bentrokan terjadi pada awal protes massa sesaat sebelum Presiden Mursi digulingkan militer. Badie, el-Shater dan el-Katatni bersama dengan pemimpin senior Mohammed el-Beltagy, Essam el Erian-dan sembilan orang lainnya dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Sementara empat lainnya dihukum mati. Terkait putusan ini dapat diajukan upaya banding.
Namun undang-undang baru, yang disahkan pada bulan Februari, memungkinkan jaksa untuk membekukan aset teroris yang ditunjuk, melarang mereka dari kehidupan publik atau perjalanan untuk periode tiga tahun terbarukan berdasarkan putusan awal dan dengan persetujuan dari majelis hakim.
Undang-undang juga memperluas definisi negara terorisme untuk memasukkan siapa saja yang mengancam ketertiban umum 'dengan cara apapun'. Hukum tersebut mengundang kecaman dari kelompok hak asasi manusia (HAM). Mereka menuduh UU ini memperluas kewenangan negara untuk memberangus kelompok oposisi di Mesir. Bagi mereka ini hanya sebagai kedok negara untuk memperkuat hegemoni nya.
Pemerintah mengatakan mereka membutuhkan hukum dalam kampanye melawan pemberontakan meluas oleh kelompok militant.Termasuk salah satu yang telah bersumpah setia pada kelompok pertempuran Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS).