Jumat 03 Apr 2015 04:45 WIB

Bom yang Jatuh di Cina dari Pesawat Myanmar

Rep: C25/ Red: Julkifli Marbun
Tentara Myanmar
Foto: AP PHOTO
Tentara Myanmar

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING – Kementerian Luar Negeri Cina mengatakan kalau Myanmar telah menerima tanggung jawab dan meminta maaf atas bom dijatuhkan di wilayah Cina bulan lalu yang menewaskan lima orang.

Insiden itu terjadi dalam bentrokan antara pasukan pemerintah Myanmar dan kelompok pemberontak yang disebut Aliansi Tentara Nasional Demokrat Myanmar. Ribuan pengungsi melarikan diri ke Cina selama pertempuran berkobar di sisi perbatasan Myanmar dalam satu bulan terakhir atau lebih.

Pemerintah Cina marah dengan kematian di provinsi barat daya Yunnan dan memperingatkan respon tegas harus ada sebagai balasan. Saat bertemu dengan mitra Myanmarnya, Wunna Maung Lwin, Menteri Luar Negeri China, Wang Yi, mengatakan kalau tim gabungan yang dibentuk untuk melihat ke dalam pengeboman sudah bisa  memastikan apa yang terjadi.

Wunna Maung Lwin menerima hasil penyelidikan, yang menyatakan kalau bom yang menewaskan warga China adalah bom dari pesawat Myanmar dan memohon maaf sekaligus menawarkan kompensasi.

"Pihak Myanmar akan pergi dan memberikan hukuman sesuai dengan hukum mereka yang bertanggung jawab sekaligus akan memperkuat pengendalian internal untuk menghindari insiden seperti itu terjadi lagi," tambah Wunna Maung Lwin.

Dikatakan, Myanmar akan bekerja sama dengan China untuk menjamin stabilitas di sepanjang 2.000 km (1.250 mil) perbatasan mereka meski banyak yang jauh dan sulit untuk akses.

Aliansi Tentara Nasional Demokrat Myanmar, yang dipimpin oleh komandan etnis Cina, Peng Jiasheng, dibentuk dari sisa-sisa Partai Komunis Burma, pasukan gerilya Cina yang didukung kuat yang memerangi pemerintah Myanmar sampai pecah pada tahun 1989.

Kelompok ini melanggar gencatan senjata dengan pemerintah yang berlangsung hingga 2009, ketika pasukan pemerintah mengambil alih wilayah mereka dalam konflik yang mendorong puluhan ribu pengungsi pergi ke provinsi Yunnan China.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement