REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menolak kesepakatan kerangka kerja nuklir Iran. Dia bahkan menelepon Presiden AS Barack Obama untuk menyampaikan keberatannya, Kamis malam (2/4).
"Kesepakatan yang dilandasi atas kesepkatan kerangka kerja akan meningkatkan risiko penyebaran nuklir di wilayah ini dan risiko perang yang mengerikan," kata Netanyahu, Jumat (3/4).
Para perunding senior, Kamis (2/4), menyelesaikan pembicaraan nuklir Iran di Lausanne, Swiss, dan mencapai penyelesaian bersama mengenai masalah yang mengganjal.
"Kami telah melakukan tindakan yang menentukan. Kami telah mencapai penyelesaian mengenai parameter penting Rencana Aksi Menyeluruh Bersama (JCPOA)," kata Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Federica Mogherini di Lausanne.
Mogherini menambahkan tekad politik, itikad baik dan kerja keras semua pihak membuat itu bisa terwujud.
Atas nama Iran dan negara P5+1, ia mengatakan semua pihak menyepakati kapasitas pengayaan Iran, tingkat pengayaan dan simpanan akan dibatasi untuk masa tertentu dan takkan ada instalasi pengayaan lain selain pembangkit listrik Natanz di Iran. Kelompok P5+1 terdiri atas Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Rusia dan Cina ditambah Jerman.
"Penelitian dan pengembangan Iran mengenai mesin sentrifugal akan dilakukan dengan dasar satu lingkup dan jadwal yang telah disepakati bersama," katanya.
Iran dan kelompok P5+1 melanjutkan pembicaraan selama satu pekan mereka Rabu lalu, setelah melampaui tenggat 31 Maret bagi dicapainya kesepakatan kerangka kerja.
Pada 24 November 2013, negara besar di dunia dan Iran mencapai kesepakatan pertama mengenai program nuklir Iran. Perjanjian itu menuntut Iran menghentikan sebagian kegiatan sensitif sebagai imbalan bagi pencabutan sanksi terbatas untuk memberi waktu bagi upaya diplomatik menyelesaikan masalah tersebut.