Selasa 07 Apr 2015 15:21 WIB

74 Anak Tewas dalam Pertempuran Yaman

Rep: C07/ Red: Julkifli Marbun
Dewan Keamanan PBB
Dewan Keamanan PBB

REPUBLIKA.CO.ID, AMMAN -- Dewan Keamanan PBB mengatakan sebanyak 74 anak-anak telah tewas dalam pertempuran di Yaman sejak hampir dua pekan ini. Lebih dari 100 ribu orang di Yaman juga telah meninggalkan rumah mereka untuk mencari keamanan.

Perwakilan PBB di Yaman, Julien Harneis mengatakan anak-anak merupakan korban dari perang ini.

"Mereka dibunuh, cacat dan terpaksa meninggalkan rumah mereka, kesehatan mereka terancam dan pendidikan mereka terganggu," kata Harneis dalam sebuah pernyataan yang dirilis Senin di Amman, Yordania.

Ia mengatakan setidaknya 74 anak tewas dan 44 luka-luka sejak 26 Maret, ketika kampanye udara Saudi yang dipimpin melawan pemberontak Syiah Yaman dan sekutu mereka mulai.

Di tengah serangan udara pimpinan Arab Saudi, yang terus berlangsung, terhadap sasaran gerilyawan Syiah Al-Houthi dan situasi kemanusiaan yang memburuk di lapangan, Dewan Keamanan PBB mengadakan pembahasan tertutup pada Sabtu (4/4) atas permintaa Rusia. Dewan Keamanan mulai mengerjakan rancangan resolusi yang bertujuan mewujudkan gencatan senjata.

Ledakan juga terus mengguncang pinggiran kota pelabuhan Aden, Yaman, Senin (6/4) waktu setempat. Warga melaporkan, sebuah kapal perang asing menembaki Houthi di pinggiran kota.

Pertempuran dan penembakan telah terjadi selama beberapa hari di kota tersebut. Setidaknya, selama 12 hari serangan koalisi yang dipimpin Arab Saudi diluncurkan ke Yaman. Namun, serangan tersebut kini memicu krisis kemanusiaan yang kian berkembang.

Beruntung Arab Saudi telah memberi izin kepada Komite Palang Merah Internasional untuk memberikan bantuan. Namun, mereka belum mengatur penerbangan untuk memberikan 48 ton obat-obatan.

Makanan, air dan listrik kekurangan di seluruh negeri terutama di Aden, di mana pertempuran telah menutup akses pelabuhan dan memotong jalur darat yang menghubungkan kota itu dengan kota luar.

Yaman telah terlibat dalam kemelut politik sejak 2011, ketika protes massa memaksa presiden saat itu Ali Abdullah Saleh untuk meletakkan jabatan. Pembicaraan perujukan selama tiga tahun gagal menyelesaikan krisis itu tapi malah menciptakan kevamukan besar kekuasaan yang dapat menguntungkan Al-Qaida di Jazirah Arab, yang tangguh, dan kelompok fanatik lain.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement