Senin 13 Apr 2015 09:40 WIB

Inilah Penyebab Utama Mengapa Saddam Husein 'Ditumbangkan'

Rep: Ahmad Islamy Jamil/ Red: Nasih Nasrullah
Patung Saddam diruntuhkan di Baghdad pada 2003
Foto: Jarome Delay/ AP
Patung Saddam diruntuhkan di Baghdad pada 2003

REPUBLIKA.CO.ID, Di mata kalangan Barat, sosok pemimpin seperti Saddam Hussein tidak sekadar dipandang sebagai diktator, tetapi sekligus musuh yang menjijikkan. Namun, di mata para pendukungnya, mantan Presiden Irak itu justru dihormati sebagai pahlawan karena sikapnya yang lantang memerangi Zionis Israel.

Pada 1976, Saddam tampil sebagai figur militer paling kuat di angkatan bersenjata Irak. Dia pun dengan cepat beralih menjadi aktor yang memainkan peran penting di tubuh pemerintahan pada masa itu.Pada 1979, Saddam resmi memegang tampuk kekuasaan di Irak. Di bawah pemerintahannya, Irak segera berubah menjadi negara terkuat di Timur Tengah untuk beberapa masa lamanya.

Sejak berada di bawah kendali Saddam, hubungan Irak dengan negara-negara Arab lainnya bisa dikatakan cukup variatif. Ada yang baik, ada pula yang memburuk. Mendekati pengujung dekade 1970-an, Saddam memutuskan hubungan Irak dengan Mesir. Langkah itu ia lakukan lantaran ketidaksetujuannya terhadap perundingan damai antara Mesir dan Israel pada 17 September 1978.

Kesepakatan damai yang dikenal sebagai Perjanjian Camp David itu diinisiasi oleh Anwar Sadat, presiden Mesir ketika itu. Di mata Saddam, perjanjian tersebut tidak hanya melukai hati rakyat Palestina, melainkan juga mencoreng wajah dunia Arab secara keseluruhan.

Saat perang Teluk 2 Agustus 1990–28 Februari 1991, ketika proses negosiasi antara Irak dan pihak sekutu berlangsung (terdiri dari AS, Inggris, Arab Saudi, Prancis, Italia, Maroko, Kanada, dan Uni Emirat Arab), Saddam mencoba mengalihkan perhatiannya kepada masalah Palestina.

Dia berjanji bakal menarik pasukan Irak dari Kuwait, jika Israel juga bersedia melepaskan pendudukannya di Tepi Barat, Dataran Tinggi Golan, dan Jalur Gaza. Akan tetapi, tawaran Saddam tersebut ditolak pihak sekutu. Mereka berdalih, krisis di Kuwait tidak memiliki hubungan apa pun dengan isu Palestina-Israel.

 

Karena usulannya ditolak, Saddam pun memilih untuk meninggalkan proses perundingan, sehingga negosiasi pada waktu itu berakhir tanpa hasil. Melihat situasi semacam itu, pasukan sekutu pimpinan AS—yang didukung oleh Dewan Keamanan PBB—akhirnya melancarkan serangan rudal ke Irak pada pertengahan Januari 1991. Sebagai balasannya, Irak kemudian juga menembakkan 39 buah rudal Scud menuju Israel. Menurut laporan BBC, tidak ada korban jiwa di pihak Israel akibat serangan Irak pada waktu itu.

Irak sesungguhnya menginginkan serangan rudal tersebut dapat memancing respons militer dari Israel. “Dengan begitu, Irak berharap akan banyak negara Arab yang menarik dirinya dari barisan sekutu karena tidak ingin berada di pihak Israel,” tulis Shmuel Waldman dalam bukunya,  Beyond a Reasonable Doubt.

Pascaserangan pertama Irak terhadap Israel, angkatan udara Zionis langsung menggelar patroli di wilayah utara Irak. Mereka sudah dalam kondisi siap untuk membalas. Namun, Presiden AS ketika itu, George HW Bush, meminta Perdana Menteri Israel Yitzhak Shamir untuk menahan diri dan tidak membalas serangan Irak tersebut. Bush juga meminta Israel supaya menarik jet-jet mereka dari Irak.

“AS khawatir, jika Israel menyerang Irak, negara-negara Arab lainnya akan meninggalkan sekutu atau bergabung dengan Irak,” tulis Lawrence Freedman dan Efraim Karsh dalam buku The Gulf Conflict: Diplomacy and War in the New World Order, 1990–1991.

Saddam Hussein secara luas dihormati masyarakat dunia Arab atas sikapnya yang pro-Palestina. Presiden Irak kelima itu bahkan membantu sejumlah kelompok gerilyawan Palestina dan organisasi militan lainnya untuk berjuang mempertahankan tanah airnya dari penjajahan Israel.

“Selama peristiwa Intifadah Kedua (yang dimulai sejak September 2000), Irak juga mengirimkan bantuan keuangan kepada keluarga syuhada di Palestina,” tulis laman BBC dalam artikel Palestinians Get Saddam Funds yang dipublikasikan pada 13 Maret 2003.

Selain Saddam Hussein, pemimpin Libya Muammar Qaddafi—yang juga dicap sebagai musuh oleh Barat—semasa hidupnya juga mendapat penghormatan luas dari masyarakat dunia Arab atas kritiknya yang tanpa kompromi terhadap Israel. Di samping itu, Qaddafi juga tidak pernah berhenti menyindir para pemimpin Arab yang memiliki hubungan dengan negara Yahudi tersebut. Sejak kematian Saddam Hussein dan Muammar Qaddafi, sikap dunia Arab seakan-akan kian melunak terhadap Israel.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement