REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Sekitar 772 ribu warga Australia menjadi korban pencurian identitas dengan tingkat kerugian rata-rata 4.000 dolar (sekitar Rp 40 juta) per orang sepanjang tahun 2014. Hal ini diungkapkan Veda, sebuah lembaga kredit, yang meneliti masalah ini kepada ABC baru-baru ini.
Dijelaskan bahwa informasi personal yang dicuri secara online telah disalahgunakan oleh pelaku cybercrime untuk mendapatkan keuntungan miliar dolar setiap tahunnya.
Salah seorang korban bernama Rhonda, mengaku ia tadinya tidak mengira akan menerima SMS dari bank yang menanyakan apakah benar ia telah mengubah nomor teleponnya.
"SMS itu meminta agar saya segera melapor jika tidak pernah mengubah nomor telepon," jelasnya.
Setelah itu, Rhonda langsung ke ATM terdekat untuk mengecek jumlah tabungannya. "Saya baru sadar uang saya sekitar 6 ribu dolar tinggal 1 dollar yang tersisa," katanya.
Rhonda mengatakan, sebelumnya pelaku berhasil mengakes nama lengkap dan tanggal lahir Rhonda termasuk informasi mendasar lainnya setelah pelaku mencuri surat di kotak surat depan rumahnya.
"Mereka mencuri surat-surat saya dan berhasil mendapatkan informasi mendasar untuk mengakses akun bank saya," jelasnya.
Sebuah survei yang dilakukan Veda menunjukkan satu dari lima warga Australia mengaku informasi personalnya pernah dicuri pada tahap tertentu.
Menurut Fiona Long dari Veda, cybercrime telah membawa kerugian 1,6 miliar dolar tahun 2014.
Ia menjelaskan, pelaku biasanya menggunakan variasi metode berbasis teknologi untuk mendapatkan informasi personal calon korbannya.
Ini termasuk spyware atau malware di email, menjadi follower di media sosial, dan bahkan melakukan pencurian langsung di mobil atau rumah korban.
"Saat pelaku berhasil mendapatkan cukup informasi personal korban, mereka bisa membuat akun baru, misalnya membeli HP baru, mengajukan pinjaman ke bank, mengajukan pengembalian pajak atau membeli mobil baru," jelas Fiona Long.
"Pelaku bisa melakukan banyak hal. Saya bicara dengan seorang korban yang hak kepemilikan rumahnya ternyata telah berpindah tangan atas nama orang lain," katanya.
Veda menyarankan agar pemilik akun email sebaiknya menggunakan kotak surat yang aman, serta berhati-hati membagi informasi personal di media sosial.
Bagi Rhonda, pengalaman buruk ini memberinya pelajaran untuk tidak menjadi korban lagi. Ia kini mendapatkan laporan tabungan banknya melalui email dan menjadi sangat berhati-hati di media sosial.
"Saya tidak lagi mencantumkan detail pekerjaan dan latar belakang pendidikan saya. Bahkan, tidak lagi mencantumkan tanggal lahir yang sebenarnya di akun Facebook saya," katanya.