REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Pada Rabu (15/4) lalu, Parlemen Eropa melakukan pemungutan suara untuk menentukan apakah insiden pembantaian warga Armenia pada 1915 merupakan aksi genosida. Hasilnya, parlemen mendukung penyebutan genosida untuk insiden seabad lalu itu.
Sebelum pemungutan suara berlangsung, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan sudah bertekad akan mengabaikan apapun hasil dari jajak pendapat tersebut. Bahkan setelah pemungutan, Kementerian Luar Negeri Turki menuduh Parlemen Eropa mencoba mengubah sejarah.
Pemungutan suara dilakukan dengan model 'angkat tangan', yang diikuti para anggota parlemen. Hasilnya mereka mendukung penyebutan genosida pada peristiwa yang terjadi 1915-1917, saat Armenia bentrok dengan pasukan dari Kekaisaran Ottoman.
Anggota parlemen meminta Turki membuka arsip dan berdamai dengan masa lalu. Menurut parlemen, Armenia dan Turki harus menggunakan 100 tahun genosida Armenia sebagai momen memperbaiki hubungan diplomatik.
"Armenia dan Turki harus memperbarui hubungan diplomatik, membuka perbatasan dan membuka jalan bagi integrasi ekonomi," ujar pernyataan parlemen Uni Eropa, Kamis (16/4).
Resolusi yang dicapai parlemen Eropa dilakukan selang tak lama setelah Paus Francis menggunakan istilah genosida, untuk kasus pembantaian warga Armenia tersebut. Ahad (12/4) lalu, komentar Paus tersebut memicu kemarahan Turki hingga menarik duta besarnya dari Vatikan.