Senin 20 Apr 2015 10:15 WIB

Pengamat: Indonesia Belum Terdengar Bicara Ketidakpercayaan Antarnegara

Bendera peserta Konferensi Asia Afrika (KAA) terpasang dijalan MH Thamrin, Jakarta, Rabu (15/4).(Republika/Tahta Aidilla).
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Bendera peserta Konferensi Asia Afrika (KAA) terpasang dijalan MH Thamrin, Jakarta, Rabu (15/4).(Republika/Tahta Aidilla).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Program Pascasarjana Universitas Paramadina Jakarta Dinna Wisnu mengatakan suara Indonesia mengenai ketidakpercayaan dan berkurangnya rasa hormat di antara negara-negara Asia-Afrika masih belum terdengar.

"Kompetisi di antara negara-negara Asia-Afrika sangat kompleks, tidak hanya soal ekonomi. Antarnegara sudah muncul ketidakpercayaan dan kurangnya rasa hormat," kata Dinna Wisnu dihubungi di Jakarta, Senin (20/4).

Karena itu, antarnegara sering terjadi sengketa, misalnya di Laut China Selatan, yang menyebabkan negara-negara ASEAN terpecah. Selain itu, muncul inkonsistensi di antara negara-negara dunia dalam memandang satu permasalahan dengan permasalahan yang lain.

"Misalnya dalam memandang Palestina sebagai sebuah koloni, padahal masih banyak kawasan lain yang menjadi sengketa tetapi tidak disentuh seperti reklamasi oleh Tiongkok dengan menduduki dan mengklaim sebuah wilayah," tuturnya.

Ketua Program Pascasarjana Jurusan Diplomasi Universitas Paramadina itu mengatakan sebagai pencetus Konferensi Asia-Afrika, Indonesia sebenarnya memiliki modal yang sangat besar untuk bersuara.

Menurut Dinna, Indonesia memiliki peran penyeimbang dan penjaga stabilitas politik dan keamanan bagi kawasan Asia-Afrika. Indonesia ikut menentukan situasi kondusif di kawasan tersebut. Indonesia ikut berusaha menjaga agar persaingan dan saling curiga di kawasan Asia-Afrika tidak memburuk.

Namun, meskipun sudah berusaha menjadi penyeimbang dan menciptakan suasana kondusif, Dinna menilai peran Indonesia belum optimal dan signifikan. Misalnya, saat pemerintahan saat ini, Presiden Joko Widodo lebih berorientasi kepada permasalahan dalam negeri. Masalah internal bangsa lebih menjadi prioritas bagi pemerintah, bukan masalah regional apalagi global.

"Itu berbeda dengan ketika Presiden Soekarno pada 1955 menginisiasi Konferensi Asia Afrika pertama kali di Bandung. Soekarno menganggap permasalahan di internal bangsa bisa terselesaikan bila permasalahan di tingkat internasional bisa diselesaikan," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement