Kamis 07 May 2015 11:12 WIB

Menengok Kehidupan Minoritas Muslim di Pedalaman Australia

Red:
abc news
abc news

REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Saban hari Jumat di Kota Ararat - 50an warga Muslim berkumpul di sebuah bangunan kecil dekat stasiun kereta. Demikianlah suasana ibadah mingguan umat Islam yang minoritas di kota pedalaman Victoria di luar Kota Melbourne.

Di bangunan kecil itu pula, organisasi masyarakat Muslim bernama Islamic Welfare Association sesekali bertemu dengan pihak Gereja Katolik setempat untuk kegiatan bersama.

Namun tak lama lagi, warga Muslim di kota berpenduduk 8.000an jiwa itu, akan memiliki masjidnya sendiri. Hal itu karena Pemerintah Kota Ararat telah memberikan izin pembangunan, yang juga disetujui oleh pemuka agama lain di kota itu.

ABC menemui empat keluarga Muslim - yang sama seperti warga lainnya merasa bangga dengan Ararat dan sudah menganggap kota itu sebagai kampung halaman.

Keempat keluarga ini mengakui agama yang mereka anut itu seringkali disalahpahami oleh penduduk lainnya - seakan-akan mereka merupakan ancaman bagi masyarakat setempat.

Keluarga Anas Ghazal dan Kimberly Amatullah

Anas Ghazal dan istrinya Kimberly Amatullah, bersama anak mereka Sarah Ghazal, Malik Ghazal, Samerah Ghazal.

Anas Ghazal dan istrinya Kimberly Amatullah, bersama anak mereka Sarah Ghazal, Malik Ghazal, Samerah Ghazal.

Anas Ghazal adalah seorang dokter di RS Ararat. Pria kelahiran Suriah ini bertemu istirnya, Kimberly, saat wanita kelahiran Australia ini berkunjung Suriah untuk memperdalam pelajaran Alquran.

"Kami dikenalkan satu sama lain, saling mencintai, dan akhirnya saya melamar dia," kata Anas. "Kami menikah dan tinggal di Suriah selama dua tahun."

Kimberly sendiri memeluk Islam di usia 18 tahun, jauh sebelum ia bertemua Anas.

"Saat itu saya baru tamat SMA, dan mencari makna hidup saya," jelas Kimberly.

"Guru agama saya orang Suriah, jadi saya pergi ke sana untuk belajar agama dan merasakan kehidupan dalam budaya yang berbeda,' katanya.

Suami-istri ini pindah ke Ararat dari Kota Bendigo tiga bulan lalu, bersama tiga anak mereka. Kimberly kini sedang hamil anak keempat.

Kehidupan mereka sama belaka dengan pasangan keluarga muda lainnya - bekerja, antar-jemput anak ke sekolah, belanja, memasak dan kegiatan keluarga lainnya.

Mereka mengaku lebih rileks menjalani kehidupan di kota pedalaman ini dibandingkan dengan kota besar seperti Melbourne.

Namun tantangannya, tidak semua warga memiliki pemahaman yang luas mengenai perbedaan agama seperti pada umumnya warga di perkotaan.

Kimberley sendiri mengaku dalam 14 tahun terakhir sejak ia mengenakan jilbab, hanya tiga kali sepanjang yang ia ingat ia secara langsung mendapat komentar negatif dari orang lain.

 

Osman Kokcu

Osman Kokcu, pengurus organisasi masyarakat Muslim di Ararat.

Osman Kokcu, pengurus organisasi masyarakat Muslim di Ararat.

Pria kelahiran Turki, Osman Kokcu, sudah menetap di Australia selama 14 tahun - kini ia tinggal dan bekerja di rumah potong hewan di Ararat.

Istri dan anaknya harus tinggal di Melbourne karena alasan sekolah anaknya di sebuah SMA. "Saya bertemu mereka di akhir pekan," katanya.

Osman adalah pengurus Islamic Welfare Association di Ararat, yang bertujuan saling membantu di antara keluarga Muslim.

"Misalnya ada warga Muslim yang baru datang ke sini - kami turut membantu mencarikan rumah dan pekerjaan," kata Osman.

 

Keluarga Saqib Gondal dan Misbah Saqib

Misbah Saqib dan Saqib Gondal (kiri) bersama anak mereka Emaan Saqib dan Zayan Gondal serta saudara Misbah, Ahmad Raza.

Misbah Saqib dan Saqib Gondal (kiri) bersama anak mereka Emaan Saqib dan Zayan Gondal serta saudara Misbah, Ahmad Raza.

Pasangan suami istri Saqib dan Misbah memutuskan untuk meninggal kehidupan kota besar dan memilih tinggal di kota pedalaman.

Saqib adalah supir taksi di Ararat dan mengaku memiliki lebih banyak waktu untuk keluarga dibanding saat tinggal di kota besar.

"Akhirnya kami bisa membeli rumah di sini, dengan harga cicilan yang lebih murah dibandingkan harga sewa rumah di Melbourne," ujarnya.

Keluarga ini memiliki dua orang anak. Dan sebagai supir taksi, Saqib merasakan langsung bagaimana berinteraksi dengan warga lainnya setiap saat.

"Penumpang langganan bahkan membuatkan barang-barang untuk anak kami. Ada yang membuatkan baju hangat, bahkan ada yang membuatkan selimut," tutur Saqib.

Sebaliknya, di saat perayaan Natal Saqib sibuk mengantarkan kartu ucapan kepada pelanggannya.

 

Keluarga Riaz Mohd dan Remandeep Kaur

Riaz Mohd, Remandeep Kaur dan bayi mereka Aleena.

Riaz Mohd, Remandeep Kaur dan bayi mereka Aleena.

Riaz dan Remandeep berasal dari kota yang sama di India - namun mereka tak dibolehkan menikah karena alasan perbedaan agama.

Mereka pun pindah ke Australia. Remandeep yang tadinya beragama Sikh kemudian memeluk Islam.

Pasangan ini datang ke Ararat empat tahun lalu demi memenuhi syarat visa mereka - yaitu harus tinggal di daerah pedalaman. Kini keduanya bekerja di rumah potong hewan di kota itu.

"Riaz bekerja sebagai pemotong hewan dan memastikan prosesnya secara halal sedangkan saya bekerja sebagai petugas pengawas daging," ujar Remandeep.

Remandeep mengaku diterima oleh warga sekitarnya dan karena itu menyatakan, "Saya mencintai Australia dan ingin menghabiskan hidup di negara ini".

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement