REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Beberapa penghasil ikan tuna terbesar di dunia sepakat untuk mengurangi tangkapan mereka sebesar 35 persen, dalam usaha mengatasi krisis harga tuna dunia sekarang ini.
Pasok berlebihan tuna skipjack menyebabkan harga jatuh dari $ 2500 AUD (sekitar Rp 25 juta) perton di tahun 2013, menjadi $ 1256 (sekitar Rp 13 juta) sekarang ini per ton.
Organisasi Penangkap Tuna Dunia (WTPO) mengatakan bahwa anggota mereka, termasuk beberapa kapal dari bukan anggota, akan mengurangi penangkapan.
Resolusi yang dikeluarkan adalah bahwa kapal penangkap akan tetap berada di pelabuhan selama 10 hari, sebelum mereka melaut lagi. Kelompok yang setuju dengan Perjanjian Nauru, (PNA) mereka yang menguasai penangkapan sebagian besar tuna, menyambut baik 'inisiatif global' yang diambil oleh WPTO.
"Ini boleh disebut sebagai moratorium, " kata manajer komersial PNA, Maurice Brownjohn kepada Radio Australia baru-baru ini.
"Sesuatu memang harus dilakukan untuk meningkatkan harga, karena sebagian besar kapal penangkap di kawasan Pasifik mengalami kerugian."
"Saat ini secara umum lebih banyak pasokan dari kebutuhan, dan industrin ini harus mengambil tindakan."
"Tentu saja tidak ada ada 100 persen kepatuhan, namun beberapa perusahaan sudah menyatakan perlunya diambil tindakan sudah merupakan berita positif dan ini juga bagus bagi lingkungan secara global."
Langkah ini akan berlaku untuik kawasan Pasifik Tengah dan Barat, Lautan Atlantik dan India, dan berlaku bagi semua kapal penangkap tuna yang berskala besar.
Kapal penangkap di Lautan Pasifik Timur tidak akan tercakup dalam resolusi yang akan dimulai 15 Mei dan akan berlangsung sampai akhir tahun.