REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Di tengah meningkatnya pembatasan simbol keislaman di negeri ini, Pemerintah Tajikistan kini tengah mempertimbangkan pelarangan nama Arab untuk bayi yang baru lahir.
"Setelah peraturan ini disetujui, kantor registrasi tidak akan menerima nama yang tidak sesuai atau asing bagi budaya lokal, termasuk nama-nama yang menunjukkan benda, flora, fauna, serta nama-nama asal Arab," kata Jaloliddin Rahimov, pejabat Departemen Pencatatan Sipil, Kementerian Kehakiman, kepada kantor berita Interfax, seperti dilansir onislam.net, Ahad (10/5).
Rahimov menyebutkan, perintah itu dikeluarkan oleh Presiden Emomali Rahmon kepada parlemen. Presiden meminta agar parlemen mengeluarkan RUU yang akan melarang pendaftaran nama dianggap terlalu Arab.
Jika disetujui, aturan baru ini akan diterapkan pada bayi yang baru lahir. Apabila orang tua tidak bisa datang dengan nama baru, Departemen Kehakiman akan menawarkan kepada mereka sejumlah alternatif nama yang direkomendasikan.
Anggota parlemen mengklaim, aturan ini juga dapat diperluas untuk nama-nama yang terdengar Arab, diubah menjadi nama-nama Tajik. Namun, sesuai berita yang dilansir dari onislam.net, tidak ada keterangan yang menjelaskan alasan pelarangan nama Arab ini.
Islam tidak mewajibkan umat Islam memilih nama tertentu untuk anak-anak mereka. Nama Arab atau nonArab, tergantung keputusan orang tua. Namun, Islam mensyaratkan agar orang tua memilih nama yang baik, karena nama merupakan refleksi dari kepercayaan, nilai-nilai dan kepribadian seseorang.
Di bawah pemerintahan Soviet, atribut yang menampilkan tanda-tanda keagamaan dan pelaksanaan haji dilarang di Tajikistan.
Kini, muslimah Tajik juga masih harus menghadapi pelarangan jilbab di sekolah-sekolah, tempat kerja, dan foto paspor. Meski demikian, busana muslim telah menjadi pakaian sehari-hari di negara mayoritas Muslim.