REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pengakuan pejabat Vatikan dalam traktat pertama secara formal mengakui Palestina sebagai sebuah negara. Namun, ada sebuah nilai kemanusiaan di balik keputusan tersebut.
“Palestina bukan hanya persoalan agama, tapi kemanusiaan. Saya kira itu yang dilihat oleh Vatikan. Vatikan melihat konflik ini sebagai konflik kemanusiaan paling dahsyat di abad modern. Apalagi warga negara Palestina bukan hanya Muslim, tetapi juga Katolik dan Kristen,” ujar pengurus PP Muhammadiyah Syafruddin Anhar, Jumat (15/5).
Ketua Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan ini menilai, formalitas Vatikan terhadap negara Palestina akan berdampak bagi Amerika, tetapi tidak sebesar dampaknya pada negara-negara Eropa.
Lantaran, lanjut Syafrudin, kebijakan politik serta ekonomi Amerika dikendalikan oleh kekuatan kapitalis Yahudi. Lain halnya dengan negara Eropa yang kebijakan pemerintahnya tidak terlalu dikendalikan oleh Yahudi.
“Bangsa-bangsa Eropa bukan pemeluk Katolik yang taat, mereka lebih mengedepankan kemanusiaan daripada agama. Tapi, saya kira bangsa-bangsa Eropa dan Amerika harus mengapresiasi dan menindaklanjuti pernyataan Vatikan ini,” ujarnya.
Perjanjian tersebut, menurut pihak Vatikan, bertujuan untuk meningkatkan kehidupan dan aktivitas Gereja Katolik dan pengakuannya pada tingkat yudisial.
Teks perjanjian tersebut, mencakup aktivitas-aktivitas Gereja di daerah-daerah yang dikontrol oleh Otoritas Palestina, telah diselesaikan dan akan secara resmi ditandatangani oleh otoritas masing-masing.
Paus Fransiskus dijadwalkan bertemu Presiden Palestina Mahmoud Abbas pada Misa di Vatikan, Ahad (17/5) lusa dan kemungkinan besar akan memperkuat hubungan kedua negara.