REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA) mengatakan situasi kemanusiaan di Yaman tetap buruk meskipun ada gencatan senjata selama lima hari. Kebutuhan pangan juga terus meningkat.
Koordinator Kemanusiaan bagi Yaman Johannes Van Der Klaauw mengatakan badan dunia itu bertujuan menjangkau 2,5 juta warga Yaman setelah gencatan senjata yang dimulai sejak Selasa (12/5). Gencatan senjata tersebut memungkinkan adanya perbaikan sisten air dan bahan bakar sehingga bisa cukup membantu kehidupan warga selama beberapa pekan mendatang.
Laporan di lapangan menunjukkan meskipun umumnya gencatan senjata itu berjalan, bentrokan kecil di beberapa tempat terus terjadi setiap hari, sehingga menghalangi gencatan senjata diberlakukan secara penuh. "Kami terus berunding dengan semua pihak dalam konflik tersebut guna berusaha memperoleh akses ke warga," kata pemimpin OCHA di Yaman Trond Jensen.
Menurut OCHA, faktor lain yang menghalangi upaya bantuan ialah pemeriksaan embargo senjata, sebab tak ada barang atau bahan bakar yang bisa memasuki negeri tersebut dalam jumlah yang cukup dan tepat waktu. "Pemeriksaan perlu disederhanakan dan dibuat lebih cepat sehingga impor komersial dan kemanusiaan berupa bahan bakar, makanan dan barang-barang dapat dilanjutkan," kata Van Der Klaauw.
Menurut dia, jika bahan bakar tambahan tidak tiba dalam beberapa pekan mendatang, rumah sakit, instalasi kebersihan dan air, telekomunikasi dan listrik harus menghentikan kegiatan mereka. OCHA menyatakan sejauh ini 430.000 liter bahan bakar telah diimpor ke negeri tersebut. Jumlah ini hanya rata-rata 10 persen dari kebutuhan setiap bulan.
Bahan bakar sangat penting untuk Yaman sebab digunakan untuk mengoperasikan generator yang menyediakan pasokan listrik untuk rumah sakit dan layanan dasar lain, dan memungkinkan pasokan bantuan yang sangat diperlukan diangkut buat penduduk Yaman.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lebih dari 300.000 orang telah menjadi pengungsi baru sejak Maret, dan sebanyak 8,6 juta orang lagi memerlukan layanan kesehatan. Data resmi menyebutkan jumlah korban jiwa lebih dari 1.600, sedangkan lebih dari 6.200 telah cedera selama krisis yang berkecamuk.