REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hukum nasional di Myanmar menolak dengan tegas keberadaan setidaknya 1,3 juta warga Rohignya. Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT) Ahyudin mendesak Myanmar mengakui kewarganegaraan Muslim Rohingya agar tidak terjadi gejolak layaknya perlakuan Israel kepada Gaza, Palestina.
"Myanmar jangan sampai seperti Gaza di Asia Tenggara dalam memperlakukan umat Muslim. Perlakuan ini dapat menimbulkan pergolakan yang memancing kebencian orang banyak," kata Ahyudin saat dihubungi Republika, Ahad (17/5).
Pemerintah Myanmar telah membuat mereka menjadi manusia tanpa kewarganegaraan. Banyak masyarakat yang menjadi tidak suka dengan perlakuan Myanmar terhadap sesama muslim. Untuk menghindari gejolak kemarahan tersebut, pemerintah Myanmar harus menerima status mereka menjadi warga negara yang sah dan memiliki haknya.
Indonesia sebagai salah satu negara tujuan Muslim Rohingya untuk mengungsi harus memberikan izin tinggal sementara sepanjang Myanmar belum memberikan kejelasan status pada mereka. Hidup tanpa status kewarganegaraan membuat nasib para Muslim Rohingya menjadi tidak jelas. Bahkan beberapa negara seperti Bangladesh, Malaysia, dan Thailand menolak kedatangan para pengungsi kelompok minoritas tersebut.
Pemerintah Indonesia harus dapat memimpin ASEAN dalam menekan Myanmar agar segera menyelesaikan tragedi kemanusiaan ini. Apalagi sebagai negara terbesar di Asia Tenggara, Indonesia harus menyatakan dukungan penuh menggalang kepedulian masyarakat terhadap nasib Rohingya yang sangat memprihatinkan.
Sebagai bentuk dukungan dan kepedulian, ACT juga akan membentuk komite nasional untuk Muslim Rohingya yang akan menyerukan seruan untuk menekan Myanmar.