REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan bahwa Indonesia sedang mengalami dilema saat harus berhadapan dengan persoalan pengungsi Rohingya. Di satu sisi, para pengungsi yang telah terapung-apung di lautan selama ratusan hari sangat membutuhkan pertolongan. Namun, di sisi lain, kehadiran mereka secara ilegal dan tanpa prosedur formal berpotensi menjadi ancaman bagi kedaulatan dan keamanan negara.
Menurut Khairul, dalam kondisi pelik tersebut, Indonesia harusnya mengedepankan asas kemanusiaan dibanding prosedur formal. Para pengungsi Rohingya sudah selayaknya ditampung sambil menunggu adanya solusi yang permanen.
Khairul mengatakan, di sinilah tugas TNI dan Polri untuk tetap waspada terhadap segala potensi ancaman kedaulatan dan keamanan negara.
"TNI tak perlu lebay, justru di sinilah kemampuan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) kita diuji lagi dalam sebuah bencana kemanusiaan berskala internasional," kata dia melalui keterangan tertulis pada Republika, Selasa (19/5).
Khairul meyakini, rakyat Indonesia pun tak akan marah atau kecewa jika TNI untuk sementara waktu 'mengurus' para pengungsi Rohingya yang sebagian dari mereka diberitakan telah berada di Aceh.
Dia melanjutkan, tragedi Rohingya ini justru memberi kesempatan pada TNI untuk menunjukkan kemampuan mereka dalam melaksanakan misi-misi khusus, senyap dan tertutup. Di mana capaiannya diharapkan akan meningkatkan posisi tawar dan daya tekan dalam upaya diplomasi Indonesia terhadap Pemerintah Myanmar.
Menurut Khairul, Indonesia telah memiliki kemampuan itu. Hal tersebut telah dibuktikan pada Amerika Serikat dan Belanda dalam rencana aksi peledakan Kapal Karel Dorman di Terusan Panama saat misi pembebasan Irian Barat, maupun peran-peran senyap lainnya pada penyelesaian konflik di Kamboja dan Filipina Selatan.