REPUBLIKA.CO.ID, KATHMANDU -- Direktur organisasi anti pernikahan anak, CREHPA, Anand Tamang, mengatakan gempa bumi besar di Nepal memicu kenaikan jumlah pernikahan dini yang melibatkan anak perempuan. Anak perempuan yang telah kehilangan orangtua dan keluarga rentang mengalami kekerasan seksual.
"Gempa kami telah menghancurkan Nepal. Banyak anak yang kehilangan kedua orangtua dan rentan mengalami kekerasan seksual,” ujar Anand dikutip dari trust.org, pada Selasa (19/5).
Tamang mengatakan risiko kekerasan seksual terhadap anak perempuan yang tinggal di tenda-tenda di Kathmandu meningkat pasca musaibah gempa bumi. Kekerasan seksual akan mendorong keluarga untuk segera menikahkan anak perempuan mereka.
"Hampir setiap minggu kami mendapat laporan kasus perkosaan yang menimpa para gadis muda. Kejadian ini biasa menimpa gadis-gadis yang tinggal di tenda pengungsian. Para orangtua memilih jalan aman dengan menikahkan mereka,” tambah dia.
Sebagai informasi, angka pernikahan anak di Nepal cukup tinggi. Berdasarkan data PBB, satu dari 10 anak perempuan menikah pada usia 10 tahun. Selain itu, empat dari 10 anak menikah sebelum mencapai usia 18 tahun.
Anand mengatakan tingkat angka pernikahan anak tertinggi, yakni sebanyak 75 persen, terjadi di wilayah selatan yang berbatasan dengan India.
Menurut Anand, pernikahan usia dini membuat anak gadis kehilangan kesempatan menikmati kehidupan remaja, menghapus kesempatan pendidikan dan mengurangi aspirasi mereka.
Pernikahan anak-anak juga meningkatkan kemungkinan komplikasi persalinan. Selain itu, pengantin anak cenderung menjadi korban pelecehan seksual dan kekerasan domestik.
Tamang mengatakan, Nepal sebenarnya memiliki rencana nasional untuk mengakhiri pernikahan anak. Namun, gempa bumi yang terjadi beberapa waktu lalu menghambat rencana tersebut.
Pernikahan anak di Nepal sebagian besar didorong faktor ekonomi. Para orangtua memiliki keinginan untuk melindungi anak-anak perempuan mereka lewat pernikahan. Kondisi ini diperparah dengan adanya sistem mas kawin yang masih berlaku.