REPUBLIKA.CO.ID, NEW SOUTH WALES -- Konsultan militer Australia menyebutkan, angkatan pertahanan negara itu berada 20 tahun di belakang Amerika Serikat. Terutama dalam mempersiapkan konflik masa depan yang kemungkinan akan melibatkan serangan ‘drone’ dari udara dan laut.
Jai Galliott, seorang peneliti dari Universitas New South Wales, mengatakan, perang di masa depan juga akan menuntut strategi satelit dan strategi dunia maya yang canggih untuk melawan serangan terhadap energi dan infrastruktur komunikasi.
Ia menyebut, rencana pembelian jet ‘Joint Strike Fighter’ dan kapal selam baru sudah ketinggalan zaman. "Ketika kami mendapatkan kapal selam baru, mereka pastinya akan ketinggalan zaman," kata Jai, yang dikontrak Departemen Pertahanan untuk mempelajari masa depan perang di Indo-Pasifik baru-baru ini.
"Australia harus berpikir tentang peperangan generasi berikutnya dan fakta bahwa musuh kami sudah menggunakan teknologi kendaraan tanpa awak yang sangat canggih,” kemukanya.
Pada konferensi masa depan perang yang diselenggarakan di AS, baru-baru ini, mantan pilot tempur dan ahli ‘drone’, Mary Cummings, mempertanyakan apakah Pentagon juga terlalu fokus pada sistem senjata besar.
"Sekarang, kami memiliki printer 3D dan saya memiliki siswa yang selama akhir pekan bisa membangun program kendaraan tak berawak atau drone," katanya.
Ia menerangkan, "Ketika Anda bisa menempatkan satu juta ‘drone’ di udara senilai, katakan, beberapa ratus ribu dolar - dan China bisa melakukan itu dengan mudahnya- Anda harus mulai berpikir tentang cara baru menghadapi perang.”
"Ini bukan platform monolitik besar tapi ini ‘drone’ sangat murah yang bisa terus datang," tambahnya.
Peter W Singer adalah ahli strategi di Yayasan New America dan mantan peneliti di Institut Brookings di Washington.
Ia mengatakan, 80 negara yang berbeda sudah melengkapi militer mereka dengan ‘drone’, ditambah mereka sedang dimanfaatkan oleh aktor-aktor non-negara seperti ISIS, paparazi dan para petani.
Ia juga menyebut, peran manusia dalam mengendalikan ‘drone’ juga berubah.
"Mereka bisa melakukan hal-hal seperti lepas landas dan mendarat sendiri, terbang dengan misi sendiri, menarget sendiri. Mereka belum mampu menempatkan semuanya bersama-sama dan melaksanakan seluruh misi sendiri - tapi itu akan terjadi," ungkap Peter.
Ia telah menulis sebuah novel berjudul ‘Ghost Fleet’, yang menggambarkan konflik bersenjata seperti apa yang bisa terjadi antara China dan Amerika Serikat.
"Tak seperti Perang Dunia II, kita akan melihat pertempuran di dua tempat baru – luar angkasa dan dunia maya," katanya.
Ia menerangkan, "Siapapun yang memenangkan pertempuran itu, siapapun yang mengontrol langit, dan dengan itu maksud saya satelit komunikasi, pengawasan, navigasi dan GPS, semua perang di darat dan laut tergantung pada itu.”
"Hal yang sama berlaku untuk dunia maya: itu adalah sumber kehidupan untuk medan perang moderen, siapapun yang mengontrolnya atau mengontrol akses ke sana akan mendominasi pertarungan fisik," sambungnya.
‘Drone’ atau kendaraan tak berawak tak hanya menyebar di langit, tapi juga di laut, dengan ‘drone’ bawah laut diperkirakan menantang peran dari kapal selam.
Pentagon kini bahkan meneliti bagaimana pihak mereka bisa membangun peluncuran bawah laut selama bertahun-tahun, sebelum memicu mereka naik ke permukaan dan meluncurkan ‘drone’.
Keledai robot sudah dikembangkan untuk meringankan beban prajurit, dan robot yang menyerupai manusia, yang bisa memanjat tangga dan berlari, juga sedang diuji.
Sebuah komite Parlemen Federal memeriksa potensi penggunaan kendaraan tak berawak atau ‘drone’ di Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
Hal ini karena dilaporkan pada akhir Juni.